Kamis, 02 Desember 2010
CELOTEH UNIK : Galeri Cincin yang Unik dan Indah Banget
Diposting oleh evanmarihot di Kamis, Desember 02, 2010 0 komentar
Label: Celoteh Informasi, Celoteh Unik
CELOTEH MOVIE : Sepuluh Film Terbaik Sepanjang Tahun 2010
Tiap tahun, Hollywood selalu mengedarkan ratusan film ke berbagai teater di seluruh penjuru bumi. Sebagian sampai ke Indonesia dalam tahun yang sama, sementara tak jarang pula kita harus menunggu sampai tahun berikutnya untuk bisa menikmati film-film 'bule' ini. Sayang memang namun berbagai pertimbangan memang membuat tak semua film diimpor ke negeri kita. Dari sekian banyak film yang diedarkan sepanjang tahun 2010 ini, sebagian layak mendapat dua jempol sedangkan beberapa yang lain mungkin sama sekali tak menawarkan apa pun. Baik dan jeleknya sebuah film memang sangat bergantung pada selera tapi terlepas dari itu, KapanLagi.com mencoba menyajikan sepuluh judul film yang rasanya pantas mendapat julukan film terbaik tahun ini. Siapa saja mereka? Simak saja daftar berikut ini.
01. TOY STORY 3
Sekali lagi Woody dan kawan-kawannya membuktikan kesaktian mereka. Meski sudah dua kali diproduksi namun sepertinya TOY STORY masih belum kekeringan ide. Bagian ketiga ini terasa masih fresh dengan ide cerita yang memang sedikit mellow. Mengangkat tema yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, TOY STORY 3 ini sepertinya memang layak dapat penghargaan sebagai film terbaik tahun ini. Bukan hanya dari sisi cerita, animasi dan pengisian suara pun benar-benar ciamik. Meski harus berkompetisi ketat dengan beberapa film animasi lain, rasanya tak berlebihan kalau menempatkan TOY STORY 3 ini di puncak tangga.
RESENSINYA:
Pemain: Tom Hanks, Tim Allen, Joan Cusack, Don Rickles, Wallace Shawn, John Ratzenberger, Estelle Harris, Ned Beatty, Michael Keaton, Jodi Benson
Di tahun 1995 lalu, Pixar Animation Studios mengajak kita untuk bertualang ke negeri mainan dengan munculnya TOY STORY yang memukau. Tak hanya soal animasinya saja yang top quality, para aktor kawakan seperti Tom Hanks dan Tim Allen pun dipercaya untuk mengisi suara film yang berhasil mengeruk keuntungan besar buat Pixar ini.
Empat tahun kemudian sekuel pun diluncurkan dan masih menggunakan Tom Hanks dan Tim Allen sebagai pengisi suara. Bagian kedua ini pun tak kalah suksesnya dari sisi penjualan. Film ini pun masih tetap mengusung tema petualangan koleksi mainan milik Andy yang digambarkan hidup layaknya manusia.
Kini berselang hampir sepuluh tahun dari bagian kedua, Pixar kembali mencoba mengulang dua sukses sebelumnya dengan menawarkan konsep yang masih tak jauh beda dengan dua bagian sebelumnya. Jeda sepuluh tahun membuat Pixar harus menyesuaikan alur cerita. Kini digambarkan Andy (John Morris), sang pemilik koleksi mainan termasuk Woody (Tom Hanks) sang koboi dan Buzz (Tim Allen) sang astronot, akan masuk kuliah dan bermaksud menyimpan seluruh koleksi mainannya di gudang kecuali Woody.
Celakanya, karena satu kesalahan, mainan ini malah dikirim ke children day care (tempat penitipan anak). Buzz dan mainan yang lain merasa Andy sudah tak membutuhkan mereka lagi dan bermaksud menikmati petualangan mereka di tempat baru ini. Woody, di lain sisi, yakin bahwa ini adalah sebuah kesalahan dan Andy tak pernah bermaksud mencampakkan mereka.
Bagian ketiga yang kabarnya juga akan jadi bagian penutup ini memang layak dapat acungan jempol. Seperti biasa, Pixar memang tak hanya piawai membuat animasi namun jago dalam mengolah cerita yang sanggup merangkul segala usia. Mereka yang masih kecil akan sangat menikmati petualangan Woody dan kawan-kawan sementara mereka yang sudah dewasa akan melihat sisi lain dari cerita yang ditawarkan film ini.
Dari sisi visual, TOY STORY 3 ini jelas adalah sebuah perkembangan dari bagian-bagian sebelumnya. Kualitas animasi jelas meningkat tanpa harus meninggalkan karakter tiap-tiap tokoh yang ada. Soal pengisi suara, Tom Hanks, Tim Allen, Joan Cusack, dan kawan-kawan jelas bukan orang baru di dunia film dan mereka jelas tahu bagaimana mengembuskan roh ke tiap-tiap karakter yang ada di layar.
Bukan tidak mungkin, TOY STORY 3 ini bakal jadi film animasi terbaik sepanjang tahun 2010 ini. Kita lihat saja apakah karya Pixar ini bisa mengulang sukses UP di ajang Oscar nanti.
02. THE SOCIAL NETWORK
Biopic memang tak mudah dibuat. Banyak faktor yang membuat film dari genre ini jadi cenderung membosankan, tapi tidak yang satu ini. Kenapa? Banyak faktor yang membuatnya jadi sebuah tontonan yang menarik. Pertama jelas karena pamor Facebook sementara faktor-faktor lain yang lebih ke arah kualitas filmnya sendiri ternyata juga sama sekali tak mengecewakan. Kisah hidup Mark Zuckerberg sendiri memang menarik untuk disimak tapi itu tak akan mampu menjadikan THE SOCIAL NETWORK ini salah satu film terbaik tahun ini kalau bukan karena beberapa hal seperti penyusunan naskah, penyutradaraan dan tentu saja akting para pendukungnya, terutama Jesse Eisenberg dan Justin Timberlake, yang memang memuaskan.
RESENSINYA:
Pemain: Jesse Eisenberg, Justin Timberlake, Andrew Garfield, Brenda Song, Rashida Jones, Max Minghella, Rooney Mara, Joseph Mazzello
Saat Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg) menciptakan Facebook, pernahkah terbayang di benak pria muda ini bahwa ia bakal menjadi jutawan termuda dan apa yang ia ciptakan bakal menjadi sebuah fenomena? Mungkin tidak, tapi yang pasti itulah yang benar-benar terjadi. Dan yang lebih pasti lagi, tidak mungkin kita bisa punya 500 juta kawan tanpa punya satu pun musuh.
Suatu malam di tahun 2003, Mark Zuckerberg duduk terpaku di depan komputer miliknya. Di benaknya berkecamuk sebuah ide yang harus segera ia wujudkan dan tak berapa lama kemudian, konsep dasar Facebook pun tercipta, meski saat itu masih belum bernama Facebook. Tak perlu lama buat konsep ini untuk menemukan bentuknya di kalangan pengguna internet, terutama para mahasiswa di seputar Amerika Serikat. Dalam waktu singkat, terciptalah apa yang kemudian menjadi revolusi dalam cara berkomunikasi.
Enam tahun kemudian, Mark Zuckerberg telah memiliki 500 juta teman di situs yang ia buat dan di saat yang sama Mark juga menjadi jutawan termuda saat itu. Sayangnya, tak semuanya bisa berjalan lancar. Perjalanan Mark juga diwarnai masalah pribadi dan urusan dengan hukum. Dan seperti disebutkan di atas, tak mungkin kita punya 500 juta teman tanpa punya satu pun musuh.
Review:
Ide pembuatan film THE SOCIAL NETWORK sendiri sebenarnya jauh dari kata menarik. Walaupun tak bisa disangkal bila Facebook sudah menjadi bagian dari hidup kita semua namun untuk mengikuti kisah terciptanya situs jejaring sosial ini sendiri dalam bentuk feature film yang kurang lebih berdurasi dua jam bisa jadi bukanlah ide ideal. Nyatanya, duo David Fincher dan Aaron Sorkin bisa membuktikan kalau pernyataan itu salah.
Mungkin semua pengguna Facebook ingin tahu bagaimana awal terciptanya situs ini tanpa harus susah-susah membaca Wikipedia namun kalau dipikir, apa yang sebenarnya bisa divisualisasikan tanpa membuatnya jadi tontonan yang membosankan? Nyaris tak ada karena mengikuti proses pembuatan situs jejaring sosial ini sendiri bisa jadi adalah pengalaman yang membosankan.
Kuncinya adalah pada penyusunan naskah dan penyutradaraan. Aaron mampu menulis ulang buku THE ACCIDENTAL BILLIONAIRES karya Ben Mezrich menjadi bentuk naskah film yang mudah dicerna tanpa meninggalkan esensi dari versi aslinya sendiri. Untuk menyebut THE SOCIAL NETWORK ini sebagai kisah nyata, barangkali agak susah, karena Mark Zuckerberg sendiri sepertinya tak sepenuhnya mengamini semua 'fakta sejarah' yang dipaparkan dalam film ini namun terlepas dari itu semua, THE SOCIAL NETWORK sudah memberikan gambaran jelas bagaimana sebenarnya awal mula situs yang bikin heboh ini.
Berdasar naskah yang sudah cemerlang ini, David Fincher pun jadi lebih mudah mengarahkan para aktor dalam film ini untuk mencapai visualisasi yang ada dibenak sutradara ini. Bagusnya lagi, Jesse Eisenberg, Andrew Garfield, bahkan Justin Timberlake pun mampu menghidupkan karakter yang mereka bawakan. Dialog jadi terasa hidup, seolah sedang menyaksikan orang-orang yang tidak sedang sekedar berakting.
03. INCEPTION
Kalau Anda bertanya, apa yang membuat INCEPTION jadi film yang begitu fenomenal di tahun ini, jawabnya bisa bermacam-macam. Ada yang mengatakan kalau ini karena pamor Christopher Nolan sementara yang lain mungkin terpikat karena ide ceritanya yang memang fresh. Terlepas dari itu, INCEPTION memang punya perpaduan yang pas. Selain didukung aktor dan aktris kelas wahid, film ini juga punya cerita yang memang menarik. Tak percuma rasanya kalau Nolan 'memendam' kisah ini selama hampir sepuluh tahun. Film yang satu ini memang mantap!
RESENSINYA:
Pemain: Leonardo DiCaprio, Ken Watanabe, Joseph Gordon-Levitt, Marion Cotillard, Ellen Page, Tom Hardy, Cillian Murphy, Tom Berenger, Michael Caine.
Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) adalah seorang extractor, dan ia adalah yang terbaik yang pernah ada. Tugas Cobb adalah mengambil ide orang lain dengan cara masuk ke dalam alam mimpi mereka. Karena pekerjaan ini pula Cobb tak bisa kembali ke Amerika Serikat. Cobb selalu merindukan anak-anaknya namun ia tetap tak bisa berbuat apa-apa.
Saat sebuah tawaran datang, Cobb tak punya alasan untuk menolaknya. Seorang pria bernama Saito (Ken Watanabe) menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat menggiurkan. Saito bisa membawa Cobb kembali ke Amerika Serikat bila Cobb bisa menuntaskan tugas yang diberikan Saito. Bila biasanya Cobb mencuri ide dari pikiran orang, kini Saito ingin Cobb melakukan yang sebaliknya.
Saito ingin Cobb masuk ke mimpi seorang pria bernama Robert Fischer Jr (Cillian Murphy), bukan untuk mengambil ide namun justru menanamkan ide baru di sana. Saito ingin Robert menghancurkan kerjaan bisnis yang dibangun ayahnya dari dalam agar kerajaan ini tak lagi jadi ancaman buat bisnis Saito.
Dalam menjalankan misinya, Cobb punya satu tim yang terdiri dari Ariadne (Ellen Page), Arthur (Joseph Gordon-Levitt), Yusuf (Dileep Rao), dan Eames (Tom Hardy). Mereka menggunakan teknologi yang memungkinkan mereka memasuki mimpi orang lain dan mengaturnya seperti yang mereka kehendaki.
Di saat yang sama, Cobb sendiri punya masalah pribadi yang cukup rumit. Cobb tak bisa melepaskan diri dari bayangan Mallorie (Marion Cotillard), istrinya yang telah meninggal. Mal selalu muncul di alam mimpi Cobb dan berisiko mengacaukan proyek Cobb.
Cerita di atas mungkin terdengar sederhana namun bukan itu yang terjadi dalam film INCEPTION ini. Alur cerita film ini begitu rumit dan mengharuskan kita berkonsentrasi tinggi untuk bisa benar-benar memahaminya. Meski rumit namun bukan berarti film ini sama sekali tak bisa dipahami. Bukan Christopher Nolan kalau tak memberikan sesuatu yang mengejutkan buat penonton.
Bagian awal dari film ini sebenarnya lebih mirip sebuah tutorial yang memperkenalkan konsep mimpi dan cara mengendalikannya. Siapa lagi yang jadi pemandu kalau bukan Leonardo DiCaprio yang bermain dengan baik seperti pada film sebelumnya (SHUTTER ISLAND). Saat karakter Cobb menjelaskan konsep memasuki dunia mimpi ini pada Ariadne, maka di saat yang sama pula Christopher Nolan membimbing kita untuk memahami alur cerita yang bakal datang kemudian.
Konon, ide cerita film ini sudah ada di benak Nolan sejak delapan tahun yang lalu dan bisa jadi selama itu pula Nolan merancang sebuah alur kisah sempurna seperti yang disodorkan lewat INCEPTION ini. Aksi laga tetap ada namun itu semua dikemas Nolan dalam sebuah jalinan cerita, yang rumit sehingga adegan yang sebenarnya sudah jadi pakem setiap film action itu jadi terlihat berbeda.
Didukung oleh akting para aktor dan aktris yang meyakinkan, lengkap sudah INCEPTION ini menjadi sebuah tontonan yang benar-benar fresh.
04. TANGLED
Formula film untuk keluarga memang masih bisa dijual dan Disney tahu persis bagaimana meracik sebuah film yang layak ditonton sekeluarga. Dengan konsep yang cukup sederhana dan kisah lama yang dibalut dengan sentuhan baru, jadi sudah sebuah tontonan yang menarik. Tapi bukan itu saja yang membuat TANGLED ini jadi film yang bisa masuk kategori film terbaik tahun ini. Animasi yang halus dan pengisi suara yang mantap juga jadi salah satu kunci keberhasilannya. Satu lagi film animasi yang layak jadi tontonan buat seluruh keluarga.
RESENSINYA:
Pemain: Mandy Moore, Zachary Levi, Donna Murphy
Flynn Rider (Zachary Levi) mengira ia telah menemukan tempat persembunyian ideal saat ia melihat menara yang tinggi menjulang di hadapannya. Celakanya, ternyata menara tinggi ini bukannya menjadi tempat persembunyian sempurna tapi malah membuat Flynn harus berurusan dengan seorang gadis cantik yang telah lama menghuni menara itu.Rapunzel (Mandy Moore) telah berada di menara tersebut seumur hidupnya. Ia tak pernah melihat indahnya dunia di luar menara sempit itu. Sejak kecil ia telah diculik dan ditahan di dalam menara yang telah menjadi rumahnya ini. Saat melihat, Flynn, Rapunzel melihat kesempatan buat keluar dari menara itu dan melihat indahnya dunia.
Dengan segala macam cara Rapunzel pun berusaha membujuk Flynn Rider untuk membawanya turun dari puncak menara dan melihat lentera-lentera terang yang selalu ia lihat setiap tahunnya. Tentu saja perjalanan menuju ibu kita ini bukanlah perjalanan yang mudah belum lagi mereka berdua masih harus turun dari puncak menara dalam keadaan selamat.
Review
Kalau kisah di atas terasa akrab di telinga, Anda tidak salah. Film buatan Walt Disney Animation Studios ini sebenarnya mengangkat kisah klasik berjudul Rapunzel. Bahkan awalnya pun Disney bermaksud menggunakan judul aslinya meski akhirnya judul TANGLED yang akhirnya digunakan. Seperti biasa, soal animasi Disney tahu persis formula yang tepat untuk merangkul penonton dari berbagai usia. Jadi, bisa dipastikan TANGLED ini bakal mampu mengembalikan modal pembuatan film ini sekaligus mendatangkan keuntungan lumayan besar buat Disney.
Dari sisi visual, TANGLED ini memang tak ada masalah. Kualitas animasi Disney memang sudah teruji dan tak ada alasan untuk mempermasalahkannya kali ini. Tentu saja ini bukan satu-satunya andalan Disney kali ini. Para pengisi suara termasuk Mandy Moore bekerja dengan baik. Mereka mampu menghembuskan roh ke dalam karakter-karakter animasi ini dan membuatnya seolah benar-benar hidup.
Dari sisi alur kisah, Dan Fogelman, yang dipercaya menulis naskah film ini sepertinya tak mau terikat dengan kisah karya Brothers Grimm itu. Meski secara garis besar cerita yang diusung tetap sama namun Fogelman masih berani bermain-main dengan mengubah beberapa detail dari kisah ini. Hasilnya ternyata lebih mantap. Paling tidak, kisah yang berusia hampir dua abad ini terasa lebih fresh dan relevan dengan situasi saat ini.
05. THE GHOST WRITER
Judulnya memang seram namun jangan dikira bakal ada hantu dalam film ini, atau setidaknya bukan dalam artian harfiah. Saat mendengar nama Pierce Brosnan dan Ewan McGregor disebut sebagai pemeran utamanya saja sudah hampir bisa dipastikan bahwa THE GHOST WRITER ini bakal jadi tontonan yang memuaskan. Tak salah memang karena film yang mengangkat tema intrik politik ini memang menegangkan. Roman Polanski pun bukan sutradara sembarangan jadi layak kalau film ini berhasil mendapat acungan jempol.
RESENSINYA:
Pemain: Pierce Brosnan, Ewan McGregor, Olivia Williams, Kim Cattrall
Tidak semua penulis cukup mujur untuk bisa menghasilkan sebuah karya yang membuatnya terkenal dan bergelimang harta. Beberapa harus rela menjadi penulis yang tak pernah disebutkan namanya atau lebih dikenal dengan istilah ghost writer. Memang pekerjaan ini seolah mudah karena penulis tidak secara langsung bertanggung jawab pada hasil tulisannya. Tapi bukan berarti pekerjaan ini sama sekali tidak ada risikonya.
Dalam kasus ghost writer yang diperankan oleh Ewan McGregor ini masalahnya tak semudah itu. Awalnya penulis ini mendapat tugas dari agennya untuk melanjutkan penulisan biografi mantan Perdana Menteri Inggris, Adam Lang (Pierce Brosnan). Sang agen meyakinkan bahwa pekerjaan ini tak akan terlalu sulit dan kesempatan seperti ini tak akan datang dua kali.
Berbekal keyakinan itulah sang ghost writer ini berangkat ke pulau tempat tinggal Adam Lang. Ternyata, sebagian dari biografi itu sudah ditulis oleh seorang ghost writer lain namun tidak terselesaikan karena sang penulis ini tiba-tiba meninggal. Baru juga sang ghost writer ini memulai bekerja, masalah lain muncul.
Adam Lang dituduh telah menyerahkan seorang tersangka tindak terorisme pada CIA untuk disiksa. Skandal ini segera saja menjadi head line di mana-mana dan mulai banyak warga yang berdatangan untuk memprotes tindakan Adam Lang. Semakin jauh ghost writer ini mengumpulkan fakta, semakin jelas pula kalau ada kemungkinan bahwa ghost writer sebelumnya meninggal karena dibunuh dan Adam Lang bisa jadi adalah mata-mata CIA selama ia bertugas sebagai Perdana Menteri Inggris.
THE GHOST WRITER ini adalah bukti kepiawaian sutradara Roman Polanski meramu cerita dan adegan menjadi satu kesatuan tontonan yang menegangkan. Tidak ada unsur kejutan namun itu tak terlalu penting kalau penataan alur kisahnya sudah sebagus ini. Bagusnya lagi, tidak ada kesan 'kompresi' yang biasanya tercium saat sebuah film diadaptasi dari novel. Memang ada sedikit kejanggalan namun itu tak sampai membuat kesatuan kisah ini jadi tercerai-berai.
Pembentukan karakter juga bagus dan itu tak lepas dari kejelian para aktor dan aktris pendukungnya dalam memanfaatkan ruang yang disediakan naskah untuk menggali lebih dalam karakter yang mereka mainkan. Pierce Brosnan mampu meyakinkan penonton kalau dia adalah mantan Perdana Menteri. Bahkan saya sampai tak ingat lagi kalau aktor ini pernah lekat dengan nama James Bond.
06. OCEANS
Dana yang besar, peralatan yang canggih dan tema yang pas memang tak bisa dijadikan jaminan sebuah film bakal berkualitas. Sentuhan artistik, visi dan dedikasi sang sutradara pun ikut menentukan hasil sebuah film. OCEAN ini contohnya. Dengan dana lebih dari 60 juta Euro dan mengambil lokasi syuting di 50 tempat berbeda dengan lama pengerjaan lebih dari empat tahun, ditambah lagi dengan dedikasi dan visi dari Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud sebagai sutradara, hasilnya memang mengagumkan. Jarang ada film dokumenter yang bisa benar-benar mampu membuat penonton tak beranjak hingga film berakhir seperti OCEAN ini.
RESENSINYA:
Pemain: Pierce Brosnan
Tiga perempat bagian dari bumi adalah air sementara hanya seperempatnya saja yang berupa daratan. Namun seumur peradaban manusia, hanya seperempat bagian ini saja yang telah banyak diketahui sedangkan tiga perempatnya masih berupa misteri. Berabad-abad orang mencoba menguak misteri yang ada di bawah air namun tak juga habis misteri baru yang muncul.
Usaha dua sutradara, Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud ini memang bukan usaha terakhir manusia untuk menguak misteri di bawah permukaan laut tapi paling tidak usaha ini sedikit membuka mata kita untuk lebih memahami dunia di bawah permukaan air ini. Dengan dukungan berbagai pihak termasuk Disney, maka terwujudlah impian dua sutradara Perancis ini untuk sedikit menggambarkan isi lautan di sekitar kita.
Lebih dari 60 juta Euro dikeluarkan untuk mendanai proyek mulia ini dan tim produksi pun harus mengarungi luasnya lautan untuk mengunjungi 50 lebih lokasi syuting yang dikemas dalam film dokumenter ini. Tak tanggung-tanggung empat tahun penuh didedikasikan untuk pembuatan film berjudul singkat, OCEANS, ini dan hasilnya mulai ditayangkan sejak tanggal 22 April lalu, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi.
Membuat film dokumenter memang bukan sesuatu yang mudah. Selain objek yang disorot bukanlah aktor yang bisa diarahkan penataan tiap adegan agar bisa saling bertautan menjadi sebuah cerita yang utuh bukanlah urusan yang gampang. Nyatanya, proyek mulia ini bisa terwujudkan dan hasilnya sangat memuaskan.
Film ini memang bukan dokumentasi tentang isi lautan yang pertama namun duo Jacques Perrin dan Jacques Cluzaud yang menjadi sutradara proyek Disney ini punya satu keuntungan. Dengan teknologi yang ada saat ini, penggambaran isi lautan jadi lebih nyata. Kabarnya mereka juga menggunakan peralatan kamera yang disebut rebreathers yang memungkinkan juru kamera mengabadikan aktivitas para penghuni lautan ini dari jarak yang sangat dekat tanpa sepengetahuan makhluk-makhluk lautan ini.
Memilih Pierce Brosnan sebagai pengisi narasi adalah keputusan yang tepat. Pierce bisa mengatur timing dengan baik sehingga narasi itu sendiri menjadi satu kesatuan dengan tampilan visualnya. Apalagi dengan iringan orkestra karya Bruno Coulais, lengkap sudah OCEANS ini sebagai suguhan audio - visual
.07. DESPICABLE ME
Meskipun DESPICABLE ME ini adalah usaha pertama Universal Studios membuat film animasi tapi hasilnya cukup memuaskan. Salah satu penyebabnya adalah keberanian sang penggagas dalam membuat konsep yang berbeda. Apa yang berbeda? DESPICABLE ME berani mengangkat tokoh antagonis sebagai karakter utama padahal film ini adalah film yang ditargetkan untuk keluarga yang notabene selalu terpaku pada konsep benar-salah dan baik-buruk.
RESENSINYA:
Pemain: Steve Carell, Jason Segel, Russell Brand, Will Arnett, Kristen Wiig, Danny McBride, Miranda Cosgrove, Jack McBrayer, Mindy Kaling, Jemaine Clement, Julie Andrews
Gru (Steve Carell) adalah pencuri terbesar sepanjang zaman. Tak ada yang bisa menandingi rekor Gru. Sayangnya, rekor ini begitu saja tumbang ketika sebuah piramida di Mesir tiba-tiba hilang tanpa ada yang tahu siapa yang mengambilnya. Harga diri Gru tercabik-cabik. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa mencuri piramida tanpa ada yang tahu. Kalaupun bisa, hanya Gru-lah orangnya.
Berusaha mengembalikan harga dirinya yang hancur, Gru pun merancang sebuah pencurian terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Gru akan mencuri bulan. Masalahnya, Gru masih harus mempersiapkan segala sesuatunya. Ia harus mencari senjata yang mampu mengerutkan bulan sehingga bisa dipindahkan dengan mudah. Saat mencari pinjaman dari bank, Gru bertemu Vector (Jason Segel) yang ternyata adalah orang yang baru saja menggeser Gru sebagai pencuri terhebat.
Dengan segala cara Gru akhirnya berhasil mendapatkan senjata yang mampu mengerutkan bulan ini. Dasar sial, senjata yang sudah berada di tangan Gru ini berhasil dicuri oleh Vector. Mengambil kembali senjata ini dari Vector bukanlah masalah mudah dan satu-satunya harapan adalah dengan memanfaatkan tiga orang anak yatim piatu bernama Margo (Miranda Cosgrove), Edith (Dana Gaier), dan Agnes (Elsie Fisher) yang ternyata dengan mudah bisa masuk ke markas persembunyian Vector.
Gru lantas mengadopsi ketiga anak ini dan memanfaatkan mereka untuk memasukkan robot-robot berbentuk kue buatan Doctor Nefario (Russell Brand) ke rumah Vector. Kebetulan, Vector sepertinya tergila-gila pada kue yang dijual ketiga anak yatim piatu ini. Gru kini siap mencuri bulan. Tapi sepertinya masalah tak berhenti di sini karena Gru yang semula hanya ingin memanfaatkan ketiga anak yatim piatu ini malah mulai merasakan ikatan batin. Ikatan batin yang tak pernah dirasakannya.
Membuat film animasi memang gampang-gampang susah. Kebanyakan film animasi yang sukses pasti tak lepas dari campur tangan Pixar, yang lain hampir tak terdengar suaranya. Kini, Universal Studios mencoba peruntungannya di dunia animasi dengan meluncurkan film berjudul DESPICABLE ME ini dan nyatanya, film ini cukup sukses dan bukan tak mungkin bakal ada sekuel dari film ini.
Salah satu kunci suksesnya film ini adalah keberaniannya mengangkat karakter antagonis sebagai tokoh utama. Jarang ada film konsumsi anak-anak yang berani mengambil langkah ini. Yang kedua jelas adalah kepiawaian para animator Illumination Entertainment dalam menyuguhkan animasi yang cantik dan berkualitas tinggi.
Soal cerita sebenarnya mudah ditebak dan ini adalah kekurangan DESPICABLE ME bila dibanding dengan produk Pixar. Selebihnya, naskah film ini bisa dibilang cukup cerdas dengan bumbu humor fisik yang jelas lebih mudah diterjemahkan ke bahasa lain dan menjadi jaminan film ini bakal disukai di negara-negara yang tak menggunakan bahasa Inggris.
Pemilihan Steve Carell sebagai pengisi suara Gru pun sama sekali tidak salah. Steve mampu menerjemahkan karakter kompleks Gru ke dalam bentuk suara sekaligus menghidupkan karakter animasi yang punya masa lalu kelam ini. Para pendukung lain seperti Jason Segel, Russell Brand, Will Arnet, dan Kristen Wigg juga tak kalah pentingnya dalam menghidupkan karakter animasi yang ada di film ini. Hasilnya, sebuah tontonan yang layak jadi hiburan segar untuk seluruh keluarga.
08. HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS PART 1
Memerankan karakter dalam serial HARRY POTTER jelas sudah bukan masalah buat Daniel Radcliffe, Rupert Grint, dan Emma Watson. Tiga pemeran muda ini memang sudah memerankan karakter mereka masing-masing sejak sepuluh tahun yang lalu. Jadi, soal akting sepertinya tak perlu lagi dibahas. Terlepas dari faktor akting, sektor-sektor lain pun nyatanya sama sekali tak mengecewakan. Mulai dari keputusan memenggal bagian terakhir ini menjadi dua bagian, penyutradaraan sampai divisi efek visual memang bekerja dengan efektif. Hasilnya, tontonan yang menghibur meski untuk mendapatkan kepuasan maksimal sepertinya kita harus bersabar sampai bagian kedua diputar.
RESENSINYA:
Pemain: Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson, Ralph Fiennes.
Kini telah tiba saatnya buat Harry Potter (Daniel Radcliffe), Hermione Granger (Emma Watson), dan Ron Weasley (Rupert Grint) untuk menjalankan tugas mulia mereka: mencari dan menghancurkan kunci kekuatan Voldemort (Ralph Fiennes). Mereka bertiga tak punya banyak waktu karena Voldemort sudah merencanakan membakar peperangan yang selama ini selalu dikhawatirkan.Kali ini tiga sahabat ini harus berjuang sendiri karena tak ada lagi Professor Dumbledore (Michael Gambon) yang akan mengawal mereka bertiga. Dalam perjalanan berbahaya ini Harry secara tak sengaja menemukan rahasia kuno: legenda Deathly Hallows. Bila legenda ini benar maka kisah kuno ini akan memberikan Voldemort kekuatan yang selama ini ia impikan.
Di saat yang sama, peperangan sudah tak terelakkan lagi. Voldemort mengirim Death Eaters untuk mengambil alih Hogwarts. Death Eaters tak hanya ditugaskan menguasai Hogwarts namun juga mencari Harry Potter dan menyerahkannya hidup-hidup pada Voldemort. Sekarang tiba saatnya buat Harry Potter untuk memenuhi takdirnya sebagai yang terpilih.
Review
Harry Potter adalah Daniel Radcliffe. Hermione Granger adalah Emma Watson. Ron Weasley adalah Rupert Grint. Tak bisa dipungkiri memang kalau ketiga aktor/ aktris ini memang sudah identik dengan karakter yang mereka perankan sejak hampir sepuluh tahun yang lalu itu. Fakta itu saja sudah membuat HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS bagian pertama ini menang di atas kertas. Satu dasawarsa sudah mereka bertiga menemani kita dan waktu yang cukup lama itu telah mengukir sebuah kesan yang sangat kuat di benak penonton.
Serial Harry Potter memang sudah mendekati tamat. Satu film lagi dan usai sudah kisah fantasi ini. Mungkin fakta itu juga yang membuat film ini jadi lebih spesial ketimbang bagian-bagian sebelumnya. Tapi tunggu dulu. Jadi sentimentil memang boleh tapi bagaimana pun film ini tetap punya nilai yang tetap tak bisa dikesampingkan. Dari sisi visual, jelas tak ada yang perlu dikhawatirkan dari film ini. Seperti biasa, adegan-adegan fantastis bisa dibuat begitu nyata seolah memang benar-benar terjadi namun tentu saja bukan itu saja masalahnya.
Soal alur cerita memang tak perlu banyak disinggung karena versi novelnya sudah terbit lebih dulu dan rasanya tak pantas kalau kita meremehkan hasil karya JK Rowling yang sudah mendapat penghargaan di mana-mana. Lagi pula, film ini juga nyaris sama persis dengan versi bukunya meski ada sedikit tambahan yang tak begitu signifikan. Yang jelas, keputusan 'membelah' bagian ini menjadi dua adalah keputusan yang tepat karena rasanya akan lebih sulit kalau harus memampatkan semua plot dan subplot itu ke dalam satu film saja. Jadi ini bukan sekedar trik marketing untuk mengeruk uang lebih banyak.
Kalau naskah sudah beres dan visual tak perlu diragukan, yang terakhir adalah akting para pendukungnya. Dan di sisi ini pun lagi-lagi film ini sama sekali tak mengecewakan. Selain mungkin masing-masing aktor/ aktris sudah paham benar dengan karakter yang mereka perankan, campur tangan sutradara David Yates dalam menghidupkan karya tulis ini pun tak bisa dipandang sebelah mata. Singkat kata, bagian pertama dai HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS ini tak hanya layak jadi pengeruk dolar tapi juga sebuah film yang menghibur meski nuansa bagian ini lebih kelam dari film-film sebelumnya.
09. HOW TO TRAIN YOUR DRAGON
Membuat visualisasi dari sebuah cerita yang sudah ada memang relatif mudah namun juga punya tantangan tersendiri. Untungnya, DreamWorks bukanlah pemain baru dalam urusan film animasi. Dengan cerita yang memang sudah solid dan animator yang tahu persis apa yang harus mereka lakukan, agaknya tak terlalu sulit untuk menghasilkan film animasi yang berkualitas. Ditambah lagi pemilihan aktor pengisi suara yang pas, lengkap sudah senjata yang disiapkan DreamWorks kali ini.
RESENSINYA:
Pemain: Jay Baruchel, America Ferrera, Jonah Hill, Gerard Butler, Christopher Mintz-Plasse, Craig Ferguson.
Menjadi seorang Viking artinya harus mampu memburu dan membantai naga yang selalu membuat kerusakan. Itulah adat yang berlaku di desa Hiccup (Jay Baruchel). Sayangnya, Hiccup bukanlah tipe anak yang 'beringas' seperti kebanyakan anak-anak Viking. Hiccup adalah anak yang cerdas dan punya selera humor yang tinggi.
Ini jadi sedikit masalah buat Hiccup karena kepandaian dan selera humor bukanlah yang diharapkan sang kepala suku. Apalagi jika sang kepala suku adalah ayah Hiccup sendiri. Stoick (Gerard Butler) berharap Hiccup bisa menjadi seorang pejuang Viking yang tangguh dan suatu hari nanti menggantikannya menjadi kepala suku yang disegani.
Tak ada pilihan lain selain mengikutkan Hiccup ke dalam acara pelatihan naga agar Hiccup belajar menjadi seorang pria dalam definisi Viking. Sayangnya, ketika bertemu naga, Hiccup justru malah mengadakan pendekatan baru dan meninggalkan cara-cara tradisional Viking. Hiccup memilih berteman dengan sang naga dan berusaha meyakinkan seluruh suku bahwa mereka tak perlu menjadi bangsa pembantai naga dan naga bisa menjadi teman baik manusia jika manusia berusaha mengadakan pendekatan.
Selain Pixar, Hanya ada satu studio film animasi yang bisa jadi jaminan produk animasi berkualitas. DreamWorks. Coba saja lihat hasil karya studio animasi yang digagas oleh Steven Spielberg ini. SHREK, MADAGASCAR, BEE MOVIE, KUNG FU PANDA, dan yang terakhir, HOW TO TRAIN YOUR DRAGON ini, semuanya adalah film berkualitas baik secara visual maupun dari sisi cerita.
HOW TO TRAIN YOUR DRAGON yang didasarkan dari sebuah buku yang diterbitkan tahun 2003 lalu ini sebenarnya hanya ingin menyampaikan satu pesan saja, jangan takut untuk menerima hal baru. Tapi tentu saja pesan itu tak disampaikan dengan cara yang vulgar. Dalam film ini 'hal baru' itu dilambangkan dengan naga yang buat bangsa viking di masa itu adalah sesuatu yang belum dipahami dan karena itu jadi sesuatu yang menakutkan. Hiccup adalah lambang generasi muda yang lebih berani mencoba sesuatu yang baru meski risikonya belum mereka ketahui benar.
Dengan ide cerita sederhana ini tum penulis naskah lantas mengubahnya menjadi sebuah alur cerita yang 'bisa diterima' baik oleh anak-anak maupun orang dewasa sehingga pangsa pasar HOW TO TRAIN YOUR DRAGON ini jadi lebih luas. Dengan sentuhan dua sutradara, Chris Sanders dan Dean DeBois, tim animator lantas menerjemahkan naskah ini menjadi suguhan visual yang menarik lengkap dengan teknologi 3D yang sekarang memang sedang populer.
Dengan paduan alur cerita yang menarik dengan animasi yang tak kalah bagusnya, layak rasanya menyebut HOW TO TRAIN YOUR DRAGON ini sebagai sebuah film yang menghibur tanpa harus meninggalkan kualitas sebagai sebuah bentuk karya seni.
10. SHUTTER ISLAND
Kalau Anda memang pecinta film-film Hollywood, nama Martin Scorsese jelas bukan nama yang asing lagi. Hasil karya sutradara yang satu ini memang selalu mengagumkan dan SHUTTER ISLAND ini juga bukan pengecualian. Diawali dengan pemilihan materi yang tepat kemudian merekrut penulis naskah yang andal pula menjadikan pondasi dari film ini cukup kokoh. Selanjutnya, Scorsese tinggal menuangkan visinya lewat para aktor pilihan yang memang bermain apik dalam film ini.
RESENSINYA:
Pemain: Leonardo DiCaprio, Mark Ruffalo, Ben Kingsley, Emily Mortimer, Michelle Williams, Jackie Earle Haley, Max von Sydow
Teddy Daniels (Leonardo DiCaprio) dan Chuck Aule (Mark Ruffalo) adalah dua orang U.S Marshal yang dikirim ke sebuah pulau di area Massachusetts yang bernama Shutter Island untuk menyelidiki kasus hilangnya seorang wanita bernama Rachel Solando (Emily Mortimer).
Shutter Island sebenarnya adalah sebuah pulau yang difungsikan sebagai rumah sakit untuk merawat para narapidana yang menderita gangguan kejiwaan. Sebelum menghilang, Rachel sempat meninggalkan sebuah pesan yang bertuliskan 'Apa yang terjadi pada pasien 67'. Teddy yakin bahwa pesan ini ada sangkut pautnya dengan hilangnya Rachel dan bertekad menelusuri kasus ini.
Sayangnya, tak semua pihak berminat menuntaskan kasus ini. Malahan pihak rumah sakit jiwa di sana menolak memberikan bantuan. Teddy akhirnya merasa curiga bahwa pihak rumah sakit terlibat sebuah kasus dan tak ingin Rachel ditemukan karena itu akan mengungkap sesuatu yang telah lama disembunyikan. Sayangnya Teddy bukan termasuk orang yang mudah menyerah. Ditambah lagi dengan badai yang menutup kemungkinan untuk meninggalkan pulau itu, tak ada pilihan buat Teddy selain melanjutkan penyelidikannya.
Martin Scorsese memang bukan sutradara biasa. Bisa dibilang sutradara yang satu ini adalah legenda Hollywood yang masih ada hingga sekarang. Film-filmnya selalu mendapat pujian dari para kritikus dan SHUTTER ISLAND ini bukanlah pengecualian. Walaupun mungkin masih belum bisa disamakan film-film seperti GANGS OF NEW YORK atau RAGING BULL namun tetap saja SHUTTER ISLAND ini adalah sebuah film yang dikerjakan dengan serius.
Langkah awal Scorsese mengambil materi sudah tepat. Versi novelnya sendiri memang sempat mendapat pujian dari sebagian besar kritikus sekaligus sanggup merebut hati para pembaca. Keputusan menggaet Laeta Kalogridis untuk mengadaptasi novel ini menjadi sebuah skenario film juga tak salah karena penulis naskah ini mampu membawa roh novel karya Dennis Lehane ini ke bentuk nyata sebuah skenario.
Scorsese sepertinya juga tak mau mengambil risiko menggunakan aktor dan aktris baru dan memilih nama-nama besar seperti Leonardo DiCaprio, Ben Kingsley, Mark Ruffalo, dan Michelle Williams sebagai pemeran inti. Mungkin sekilas terdengar seperti marketing gimmick namun pada kenyataannya merek ini memang aktor dan aktris yang bisa diandalkan.
Setelah semua beres, kini tinggal tugas Scorsese menuangkan visinya ke dalam bentuk visual dan hasilnya memang memuaskan. Mulai dari angle pengambilan gambar, suara hingga special effect yang digunakan terasa sangat efektif membawa nuansa tegang pada penonton. Ada kesan seperti sedan menyaksikan karya Alfred Hitchcock namun itu tak jadi soal karena Scorsese tak sekedar mengekor saja.
Diposting oleh evanmarihot di Kamis, Desember 02, 2010 0 komentar
Label: Celoteh Informasi, Celoteh Movie
CELOTEH MOVIE : Sepuluh Film Terburuk Sepanjang Tahun 2010
Kalau ada yang terbaik, mau tak mau harus ada pula yang terburuk. Dari ratusan film yang diproduksi Hollywood sepanjang tahun 2010, sebagian memang tidak bisa dibilang sebagai film berkualitas. Beberapa dari film yang gagal meraih simpati kritikus ini memang benar-benar sebuah film gagal, artinya dari sisi penjualan pun mereka tak bisa dibilang menguntungkan. Sisi baiknya, beberapa dari film yang gagal ini ternyata masih mampu memancing minat penonton untuk berbondong-bondong datang ke gedung bioskop. Mau tau film-film yang masuk dalam kategori film terburuk sepanjang tahun 2010 ini? Simak daftar berikut ini.
01. TEKKEN
Sejarah memang sudah membuktikan kalau dari sekian banyak sumber materi, video game adalah sumber yang paling sulit divisualisasikan menjadi sebuah film layar lebar. Berbagai faktor termasuk hilangnya interaksi membuat film adaptasi game jadi proyek yang selalu gagal. Anehnya, fakta itu toh tak menghalangi studio untuk mengangkat game ke layar lebar termasuk proyek TEKKEN ini. Selain karena alur kisah yang datar dan sangat tipis, karakter yang diangkat pun tidak terasa benar-benar hidup.
RESENSINYA :
Pemain: Jon Foo, Kelly Overton, Cary-Hiroyuki Tagawa, Ian Anthony Dale, Cung Le, Darrin Dewitt Henson, Luke Goss
Sejak kecil Jin Kazama (Jon Foo) memang sudah memiliki bakat bela diri yang kuat. Berbekal ilmu bela diri dari kakeknya, Jin berusaha masuk dalam kompetisi maut, Tekken. Meski kompetisi ini menjanjikan harta dan popularitas yang tak terbayangkan namun Jin tak tergoda oleh iming-iming itu. Hanya satu yang ada di benak Jin. Balas dendam.
Ibu Jin tewas di tangan Heihachi Mishima (Cary-Hiroyuki Tagawa) yang kini menjadi salah satu orang penting dalam Mishima Zaibatsu, perusahaan raksasa yang kini telah mengambil alih pemerintahan di dunia pasca pecahnya Perang Dunia. Perusahaan ini pula yang menjadi sponsor utama dari penyelenggaraan Tekken.
Jin tahu kalau untuk mencapai Heihachi, ia harus mengikuti turnamen maut ini dan untuk bisa lolos dari turnamen ini bukanlah sesuatu yang mudah. Para petarung andal dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk mengikuti Tekken dengan satu tujuan, menjadi yang terbaik karena selain yang terbaik semuanya akan mati.
Sejak era 1980-an, video game memang jadi salah satu favorit orang film saat mencari sumber cerita. Banyak sudah video game yang dibuatkan versi filmnya meski tidak semuanya bisa dibilang usaha yang sukses. Sedikit saja kesalahan dalam proses adaptasi maka film ini akan jadi bahan caci-maki para penonton, terutama penggemar versi game-nya.
Mengadaptasi game ke dalam film memang bukan urusan gampang. Game biasanya punya cerita yang sangat tipis karena cerita itu hanya ada untuk merangkai sekian level yang harus dilewati sang gamer. Pada saat ditransfer ke format film maka otomatis film akan jadi bertumpu sepenuhnya pada tiap-tiap adegan dan ini juga bukan urusan mudah karena game memberikan unsur 'keterlibatan' yang tak bisa diberikan oleh film.
TEKKEN yang juga diadaptasi dari video game buatan Namco ini juga mengalami nasib yang tak jauh beda dengan film adaptasi game yang lain. Cerita sangat-sangat sederhana dan nyaris tidak ada sementara para tokoh yang ada pun jadi terkesan dua dimensi karena tidak ada latar belakang yang cukup kuat untuk membuatnya jadi sosok yang benar-benar 'nyata'. Para fans game mungkin akan senang karena sebagian besar tokoh yang dimunculkan nyaris sama persis dengan versi game-nya meski di saat yang sama mereka bisa jadi juga sedikit kecewa karena alur kisah yang disuguhkan tak sepenuhnya sama dengan versi game-nya.
02. VAMPIRES SUCK
Konon, menertawakan orang lain adalah obat mujarab menghilangkan stres. Mungkin dari dasar 'filosofi' itu pula banyak film parodi dibuat. Beberapa sukses, tapi tak jarang pula yang gagal. VAMPIRES SUCK ini termasuk film parodi yang gagal. Bermaksud menertawakan demam TWILIGHT yang sedang melanda dunia namun hasilnya malah menjadikan film ini jadi tontonan yang konyol. Humor yang disajikan sama sekali tidak cerdas sementara alur kisah pun hanya ada untuk merangkai setiap adegan yang sudah direncanakan terlebih dulu.
RESENSINYA :
Pemain: Matt Lanter, Chris Riggi, Jenn Proske, Anneliese van der Pol, Ken Jeong
Becca Crane (Jenn Proske) tak bisa membuat pilihan. Ia tak mungkin memilih Edward (Matt Lanter) karena itu artinya ia harus kehilangan Jacob Black (Chris Riggi), dan begitu juga sebaliknya. Masalahnya, tidak membuat pilihan pun bukanlah langkah yang bijak. Saat hari pesta dansa semakin dekat, Becca pun makin gelisah.
Masalah jadi rumit karena Edward adalah vampir sementara Jacob adalah manusia serigala. Untungnya tidak ada yang tahu rahasia dua orang ini termasuk ayah Becca yang sangat protektif. Di saat yang sama, Buffy (Krystal Mayo), sang pemburu vampir juga sedang mengincar Edward dan keluarganya.
Resensi:
Kalau kisah singkat di atas mengingatkan Anda pada TWILIGHT SAGA, Anda tidak salah karena VAMPIRES SUCK ini memang spoof alias versi parodi dari serial yang diadaptasi dari buku karya Stephenie Meyer itu. Walaupun kadang terasa sinis, namun yang pasti film ini berusaha memancing tawa dari kekonyolan seputar kisah vampir.
Ada formula pasti untuk sebuah film parodi seperti ini. Film seperti ini harus dibuat berdasarkan adegan-adegan dalam film yang mereka buat lelucon dan sepertinya justru inilah yang kadang membuat film parodi jadi tak berumur lama. Segera setelah film usai maka kenangan atas film ini sendiri bakal menguap habis. Jarang ada penulis naskah yang bisa membuat naskah parodi yang mampu berdiri sendiri sebagai sebuah film utuh.
Kali ini, spesialis parodi Jason Friedberg dan Aaron Seltzer yang juga bertanggung jawab atas pembuatan film DATE MOVIE, EPIC MOVIE, atau DISASTER MOVIE mencoba mengolok-olok serial TWILIGHT yang selalu jadi bahan pembicaraan di mana-mana. Buat yang sudah bosan dengan TWILIGHT, VAMPIRES SUCK ini memang seolah jadi angin segar yang bakal menghapus rasa muak mereka pada serial yang satu ini.
Seperti bisa diduga, VAMPIRES SUCK ini juga tak lepas dari pakem film parodi. Jason Friedberg dan Aaron Seltzer mengambil beberapa adegan dari TWILIGHT dan membuatnya jadi sebuah lelucon. Sayangnya, usaha itu berhenti sampai di sana. Naskah film ini terasa hanya ada untuk merangkai adegan-adegan lucu (atau yang mereka anggap lucu) agar tak terlihat seperti potongan klip yang disatukan begitu saja.
Karena terjebak formula ini juga bakat akting Matt Lanter, Jenn Proske, dan Chris Riggi jadi tak tergali. Kalau pun ada yang terlihat menonjol barangkali adalah Ken Jeong meski penampilan Ken kali ini tak sebagus saat di THE HANGOVER. Kesimpulannya, film ini pas ditonton saat Anda memang ingin melepas penat dari aktivitas sehari-hari dan jangan berharap lebih dari itu.
03. THE SPY NEXT DOOR
Dulu, di tahun 1980-an, film-film Jackie Chan adalah jaminan hiburan segar. Karena itu banyak orang yang mengira THE SPY NEXT DOOR ini bakal setara dengan film-film Jackie Chan yang dulu. Sayangnya, harapan itu tak terpenuhi karena film yang satu ini sama-sekali tak menghibur. Sepertinya kendala bahasa dan penyutradaraan membuat film ini jadi terasa 'garing'. Tak ada chemistry di antara pemainnya sementara kisah yang ditawarkan juga bukan sesuatu yang baru.
RESENSINYA :
Pemain: Jackie Chan, Magnus Scheving, Billy Ray Cyrus, George Lopez, Amber Valletta, Madeline Carroll, Will Shadley
Selama bertugas sebagai mata-mata CIA, Bob Ho (Jackie Chan) sering harus menghadapi tugas yang bisa dibilang mustahil diselesaikan. Berbekal semua pelajaran yang ia dapat selama pendidikan dan kecerdikannya, Bob selalu bisa menuntaskan misinya dengan baik. Namun Bob tak tahu kalau sebenarnya misi yang paling sulit justru akan ia hadapi setelah ia mundur dari CIA.
Karena sudah jenuh dengan tugasnya, Bob pun memutuskan untuk mengundurkan diri dan memulai hidup yang tenang. Bob ingin membina rumah tangga dengan Gillian (Amber Valletta), kekasihnya yang sangat ia cintai. Gillian pun sebenarnya sangat mencintai Bob tapi karena ia sudah memiliki tiga orang anak maka hal pertama yang harus dilakukan Bob adalah membuktikan kalau ia layak menjadi ayah tiri dari ketiga anak Gillian ini.
Suatu ketika Gillian harus pergi ke luar kota dan kesempatan ini dimanfaatkan Bob untuk mengambil hati ketiga anak Gillian. Bob menawarkan diri untuk menjaga ketiga anak Gillian selama Gillian pergi. Awalnya tugas ini saja sudah cukup berat apalagi ketika salah satu dari anak Gillian secara tidak sengaja men-download file rahasia mata-mata Rusia. Dalam waktu singkat para mata-mata Rusia pun berdatangan untuk mengambil file milik mereka.
Kini tugas Bob tidak hanya mengawasi ketiga anak Gillian namun juga harus melindungi ketiga anak ini dari ancaman para mata-mata Rusia yang tak kenal ampun. Tak ada pilihan. Bob hanya bisa melewati semua itu dengan selamat bila ia melibatkan anak-anak Gillian yang artinya ia harus membongkar identitas rahasianya sebagai mata-mata CIA.
Dari sisi tema, THE SPY NEXT DOOR punya kemiripan dengan film Vin Diesel yang berjudul THE PACIFIER. Kesamaan tema memang bukan sesuatu yang layak dipermasalahkan selama dalam penuangannya tak jadi terjebak pada alur kisah film yang lebih dulu muncul. Dalam kasus ini THE SPY NEXT DOOR masih bisa lolos karena tema itu dituangkan dengan cara lain.
Yang jadi masalah di sini sebenarnya adalah soal penyutradaraan. Sepertinya Brian Levant tak mampu mengarahkan para aktor dan aktris sehingga yang terjadi adalah akting yang tak memenuhi standar. Dalam kasus Jackie Chan dan Amber Valleta, chemistry di antara dua orang ini tak bisa muncul. Sepanjang kariernya, Jackie memang tak pernah tampil romantis dan sang sutradara sepertinya juga tak bisa mengarahkan aktor gaek ini untuk bisa romantis.
Dari sisi laga, tak ada yang baru di sini. Film-film Jackie Chan sebelumnya sudah bisa mewakili adegan laga dalam film ini walaupun di titik tertentu sepertinya Jackie sudah mulai terlalu tua untuk beraksi seperti dulu lagi. Untungnya masih ada beberapa momen yang cukup mampu memancing tawa meski di akhir kisah tak terbersit keinginan untuk menonton film ini lagi.
04. FURRY VENGEANCE
Satu lagi film yang mencoba memancing tawa dari kesialan orang lain namun gagal menjadikannya sebuah lelucon yang segar dan tak terlihat bodoh. Brendan Fraser berhasil melakukannya dengan baik di film GEORGE OF THE JUNGLE tapi sepertinya kali ini formula yang sama tak terlalu berhasil untuk mengangkat pamor film yang mencoba mengusung isu kelestarian alam ini.
RESENSINYA :
Pemain: Ken Jeong, Brendan Fraser, Dick Van Dyke, Brooke Shields, Angela Kinsey, Rob Riggle, Matt Prokop, Skyler Samuels, Jim Norton, Sam
Jangan pernah meremehkan kekuatan alam. Bila alam sudah murka, tak ada manusia yang bisa selamat dari amukan alam ini. Sayangnya Dan Sanders (Brendan Fraser) lupa pada petuah bijak ini. Tanpa pikir panjang lagi Dan memulai pembangunan perumahan walaupun itu artinya harus membuka lahan baru yang semula adalah hutan.
Buat Dan yang bekerja sebagai pengembang, peluang proyek baru ini akan mendatangkan keuntungan besar. Selama izin sudah dikantongi, tak ada yang perlu ditakutkan oleh Dan Sanders. Kalaupun ada pihak yang berusaha menggagalkan proyek ini, Dan siap menempuh jalur hukum. Sayangnya ada satu kemungkinan yang tak terpikirkan oleh Dan sebelumnya. Ada yang tak mungkin diselesaikan di meja hijau.
Saat menyadari kalau hutan tempat tinggal mereka akan segera diratakan dan dijadikan perumahan para binatang mulai merasa resah. Karena tak punya pilihan lain, para binatang ini memutuskan untuk melawan. Dalam waktu singkat, hutan yang semula tenang dan damai itu jadi medan perang antara binatang dan manusia. Kali ini Dan tak mungkin membawa para binatang ini ke meja hijau dan harus ada solusi damai di antara kedua pihak yang bertikai ini.
Orang bilang, sumber lelucon yang tak akan pernah basi adalah kemalangan orang lain. Meski terdengar sedikit tragis namun nyatanya sejak kecil kita sudah dibiasakan untuk menertawakan kemalangan orang lain. Kalau tidak percaya, coba saja tonton film-film kartun klasik seperti Micky Mouse, Donald Duck, Looney Tune dan lain sebagainya. Kalau Anda perhatikan, semuanya berisi kesialan orang lain dan bukannya merasa prihatin, kita malah menertawakan kesialan itu.
Terlepas dari tragis atau tidak, nyatanya Hollywood juga tak pernah berhenti menggali lelucon dari kesialan orang lain ini. Salah satu yang masuk kategori ini adalah film berjudul FURRY VENGEANCE ini. Sepanjang film berdurasi kurang lebih 90 menit ini kita disuguhi beraneka macam adegan kesialan yang menimpa karakter utama yang diperankan oleh Brendan Fraser.
Kalau melihat data di atas kertas, sepertinya film ini cukup menjanjikan. Pertama, ide menertawakan kesialan orang lain sudah jadi jaminan pasti. Kedua, Brendan Fraser juga berhasil memerankan tokoh yang selalu sial seperti ini dalam filmnya yang berjudul GEORGE OF THE JUNGLE. Sayangnya, formula ini tak berhasil kali ini. Nyatanya sampai saat ini film yang mulai diedarkan bulan April lalu ini masih belum berhasil mengembalikan modal awal selama produksi.
Masalahnya memang ada pada eksekusi dari ide menertawakan kesialan orang lain tadi. Mungkin ide ini akan berhasil saat diterapkan pada anak-anak namun akan jadi masalah saat ide yang sama ditawarkan pada orang dewasa. Seberapa banyak dari orang dewasa yang masih merasa 'nyaman' melihat kesengsaraan orang lain. Akhirnya, segala daya dan upaya Brendan Fraser untuk mengangkat pamor film ini pun sepertinya sia-sia belaka.
05. THE BOUNTY HUNTER
Mudah ditebak! Itu kesan yang tertangkap. Dari judul dan poster yang beredar saja sudah bisa diduga di mana titik kekuatan film ini. Celakanya lagi, sang sutradara ternyata juga tak terlalu piawai meracik bumbu untuk menjadikan film yang sudah gampang ditebak tadi jadi sesuatu yang layak ditonton. Pengembangan karakter tak berjalan sempurna sementara chemistry pun sepertinya tak terbentuk dengan baik. Akhirnya bakat akting para pemainnya pun terasa sia-sia belaka. RESENSINYA :
Pemain: Jennifer Aniston, Gerard Butler
Pekerjaan Milo Boyd (Gerard Butler) memang pekerjaan yang punya tantangan besar. Milo harus melacak orang, memburunya, menangkapnya dan membawanya pulang dalam keadaan hidup. Ya, Milo adalah seorang bounty hunter atau orang yang dibayar untuk membawa pulang para buronan.
Sebagai seorang pemburu bayaran, Milo bukan termasuk yang terbaik. Keberuntungan hampir tak pernah berpihak pada Milo. Namun saat ia mendapat tugas untuk memburu dan membawa pulang Nicole Hurly (Jennifer Aniston), Milo yakin kalau keberuntungannya akan berubah. Milo yakin tugas ini tak akan terlalu menyulitkannya. Bagaimana tidak, Nicole adalah mantan istri Milo.
Tapi memang tak ada yang bisa dinilai dari tampilan luarnya. Saat tugas mulai dijalankan, Milo baru sadar kalau dari awal memang tidak ada yang sederhana kalau sudah menyangkut hubungannya dengan Nicole. Bukannya bisa membawa Nicole pulang dengan mudah, Milo malah terjebak keruwetan gara-gara Nicole sebenarnya sedang mencari orang yang punya petunjuk untuk mengungkap sebuah kasus pembunuhan.
Film yang laku dijual memang bukan jaminan kalau film tersebut berkualitas. Meski dicaci-maki para kritikus film, bisa saja film tersebut laku keras seperti dalam kasus THE BOUNTY HUNTER ini. Konon, dari modal sekitar US$40 juta, film ini sudah bisa menghasilkan sekitar US$120 juta lebih. Bahkan di akhir pekan pertamanya, film ini berhasil masuk peringkat ketiga box office di bawah ALICE IN WONDERLAND dan DIARY OF A WIMPY KID.
Sebenarnya kalau mau jujur, film ini tak menawarkan apa-apa. Melihat poster dan judulnya saja orang sudah bisa memperkirakan alur cerita film ini dan bisa dipastikan hampir semua perkiraan itu benar. Ide menggali kelucuan dari pertengkaran di antara dua orang yang saling tidak cocok memang bukan formula baru. Formula ini sudah dipakai berkali-kali dalam bentuk yang berbeda-beda. Beberapa sukses memancing tawa sementara yang lain jadi tidak efektif lagi.
Untuk menimpakan kesalahan pada Jennifer Aniston dan Gerard Butler rasanya kurang tepat karena biasanya dua orang ini bisa berakting cukup bagus, terutama Jennifer. Bisa jadi kesalahan berada pada naskah yang memang tak memberi banyak kemungkinan buat dua orang ini. Buktinya, banyak karakter yang seolah tak terlalu penting dalam jalinan kisah dan seolah muncul untuk mengalihkan penonton dari dua karakter sentral ini.
Hampir semua adegan berlalu tanpa meninggalkan bekas. Penonton pun seolah tak dilibatkan dalam masalah yang terjadi antara dua karakter utama dalam film ini. Alhasil, film ini jadi terasa hambar dengan lelucon-lelucon yang tak lagi lucu.
06. KILLERS
Yang satu ini gagal karena dua tokoh utamanya. Pertama Ashton Kutcher dan Katherine Heigl tak terlalu meyakinkan dalam membawakan peran mereka masing-masing. Kedua, chemistry di antara mereka pun tak terbentuk. Dari sini saja sudah tak mungkin bisa menggali kelucuan yang terjadi di antara sepasang suami istri yang jadi ide utama film ini. Hasilnya, rencana yang sudah matang itu pun gagal dalam eksekusi.
RESENSINYA :
Pemain: Katherine Heigl, Ashton Kutcher
Buat orang awam, kehidupan Spencer Aimes (Ashton Kutcher) adalah kehidupan impian. Bisa menikmati kehidupan eksotik di berbagai kota di Eropa, punya mobil mewah, dan dikelilingi banyak wanita cantik memang adalah impian semua pria dan itu semua sudah dimiliki Spencer yang sebenarnya adalah seorang agen CIA.
Spencer memang menikmati hidupnya dan tak ada alasan untuk meninggalkan semua itu, setidaknya sampai Spencer bertemu Jennifer Kornfeldt (Katherine Heigl). Jennifer adalah seorang teknisi komputer yang baru saja putus dari kekasihnya dan sedang berlibur di Perancis. Sejak bertemu Jennifer, Spencer yakin kalau wanita ini adalah cinta sejatinya dan karena wanita ini pula Spencer rela meninggalkan kehidupan mewahnya untuk menikahi Jennifer.
Tiga tahun kemudian, kehidupan sepasang manusia yang sedang kasmaran ini tiba-tiba saja diguncang prahara. Spencer tiba-tiba dihubungi mantan atasannya dan tak berapa lama kemudian Spencer seolah jadi magnet buat para pembunuh yang berusaha menghabisi Spencer. Mau tak mau Spencer harus mencari tahu siapa dalang di balik usaha pembunuhan ini. Untuk melakukan itu, tak ada pilihan buat Spencer selain membuka rahasianya yang selama ini tak pernah diketahui Jennifer.
Menggali kelucuan dari hubungan suami istri sepertinya adalah tujuan utama dari film arahan sutradara Robert Luketic ini. Namun untuk bisa menggali sisi lucu dari hubungan ini, pertama sang sutradara harus mampu meyakinkan penonton bahwa dua orang ini memang sepasang suami istri. Ini bukan urusan gampang karena selain tergantung pada naskah, hasil yang memuaskan juga akan bertumpu pada chemistry antara dua orang ini.
Nyatanya, tak satu pun dari usaha untuk meyakinkan penonton bahwa Spencer dan Jennifer adalah sepasang suami istri yang bisa dibilang berhasil. Jangankan untuk membuat kondisi ini terlihat nyata, untuk membuat Ashton Kutcher terlihat seperti agen CIA saja sudah gagal. Katherine Heigl juga tak terlalu meyakinkan sebagai seorang istri yang sering histeris dan selalu berada di bawah pengawasan kedua orang tuanya.
Hasilnya, lelucon yang digali dari hubungan ini juga tak terlihat alami. Yang ada hanyalah serangkaian adegan baku tembak yang malah tak jelas bisa dikategorikan dalam genre action atau comedy. Di tengah kekacauan ini justru Tom Selleck dan Catherine O'Hara yang menjadi orang tua Jennifer yang tampil lebih menonjol meski, lagi-lagi, tidak muncul chemistry di antara dua orang ini.
07. THE LAST AIRBENDER
Mungkin kesalahan pertama studio adalah membiarkan M. Night Shyamalan menyutradarai film ini. Saat pertama muncul ide mengangkat serial AVATAR ke layar lebar, sambutan publik film sudah sangat positif namun sayangnya, sang sutradara membuat proyek ini gagal. Bukan hanya karena perubahan karakter Aang saja yang membuat banyak penonton jengkel tapi berbagai adegan yang muncul pun terasa tak logis. Untungnya dari sisi CGI, film ini tidak terlalu buruk.
RESENSINYA :
Pemain: Noah Ringer, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, Dev Patel
Keserakahan membuat Bangsa Api tak ingin hidup berdampingan dalam damai bersama bangsa-bangsa lain. Satu-satunya cara untuk memastikan Bangsa Api bisa berkuasa adalah dengan membunuh Avatar yang menjadi penyeimbang dari semua kekuatan yang ada di bumi. Karena itu pula Bangsa Api lantas berusaha mencari reinkarnasi Avatar yang konon akan terlahir dari Bangsa Udara.
Aang (Noah Ringer) adalah seorang bocah kecil yang terlahir dari bangsa Udara. Tanpa disadari Aang adalah reinkarnasi Avatar dan karena itu ia bakal memikul tanggung jawab menjadi penyeimbang alam semesta. Untuk itu, Aang tak boleh hidup seperti layaknya manusia lain. Aang tak boleh memiliki ikatan duniawi seperti orang-orang lain dan karena itu pula Aang melarikan diri dari kuil.
Karena kecelakaan Aang terjebak dalam es dan tak sadar kalau waktu telah bergulir sementara ia membeku. Seratus tahun kemudian seorang Waterbender bernama Katara (Nicola Peltz) secara tak sengaja membangkitkan Aang dari tidur panjangnya. Di saat yang sama, kebangkitan Aang ternyata diketahui Prince Zuko (Dev Patel) yang diusir dari kerajaan sampai ia berhasil pulang membawa sang Avatar untuk Bangsa Api.
Sadar bahwa dirinya adalah Avatar, Aang tak punya pilihan lain selain memerangi Bangsa Api yang telah menindas bangsa-bangsa lain. Sayangnya, Aang hanyalah seorang Airbender. Ia tak mampu memanipulasi unsur alam yang lain seperti Api, Tanah, dan Air, padahal itulah yang dibutuhkan seorang Avatar untuk menjalankan tugas sucinya.
Agaknya, THE LAST AIRBENDER ini dimaksudkan sebagai langkah yang bakal menyelamatkan reputasi M Night Shyamalan yang belakangan makin merosot saja. Di atas kertas, THE LAST AIRBENDER ini memang menjanjikan. Bagaimana tidak, film ini diangkat dari film animasi Nickelodeon yang sudah sangat populer. Selain itu, sang sutradara juga memasang nama-nama besar seperti Jackson Rathbone dan Dev Patel dalam daftar pemerannya. Sayangnya itu semua sepertinya masih belum cukup untuk mengembalikan pamor M Night Shyamalan.
Kesalahan pertama barangkali adalah soal casting. Semua karakter utama dalam film ini diperankan oleh aktor dan aktris kulit putih padahal dalam versi animasinya, karakter ini jelas-jelas orang Asia. Kedua, naskah yang dibuat oleh M Night Shyamalan sepertinya tidak memberi cukup ruang untuk para aktor/ aktris ini untuk mengembangkan karakter mereka, atau bisa jadi malah sang sutradara yang gagal mengarahkan mereka untuk mencapai standar tertentu.
Dialog antar karakter terasa kaku dan dibuat-buat sementara proses pembentukan karakter juga seolah dipaksakan dan tak berjalan mulus seperti pada kasus INCEPTION misalnya. Selain itu, CGI yang digunakan juga terasa kurang menggigit. Tak heran jika sampai saat ini film ini baru menghasilkan sekitar US$167 juta saja padahal modal yang sudah dikucurkan tak kurang dari US$150 juta. Seandainya film ini tidak dibuat dalam versi live-action dan tetap dipertahankan dalam format animasi, mungkin film ini lebih punya peluang.
08. TOOTH FAIRY
Mencoba peruntungan di ladang lain memang tak ada salahnya. Buktinya Dwayne Johnson bisa dibilang cukup sukses saat membintangi film RACE TO WITCH MOUNTAIN. Barangkali yang jadi masalah di sini adalah keterbatasan kemampuan akting Dwayne sendiri. Dwayne sepertinya belum mampu memerankan karakter yang lebih kompleks seperti dalam film TOOTH FAIRY ini sementara chemistry antara Dwayne dan Ashley Judd pun nyaris tak ada.
RESENSINYA :
Pemain: Dwayne Johnson, Ashley Judd, Julie Andrews, Billy Crystal, Brandon T. Jackson, Ryan Sheckler, Stephen Merchant.
Peri gigi adalah peri yang datang mengunjungi anak-anak dan memberikan hadiah sebagai ganti dari gigi mereka yang tanggal. Setidaknya itulah yang dikatakan mitos di Barat sana. Tapi dalam kasus Derek Thompson (Dwayne Johnson) justru berbeda. Ia adalah 'peri gigi' yang sangat kejam dan ganas.
Derek adalah seorang pemain hoki es yang 'sadis' saat berada di arena. Beberapa kali ia membuat gigi lawannya rontok dan dari sanalah ia mendapat julukan tooth fairy atau peri gigi. Hidup Derek semula lancar-lancar saja sampai suatu saat ia membuat hati seorang anak kecil sedih karena ia dengan tanpa basa-basi mengatakan bahwa 'peri gigi' itu hanyalah dongeng dan tak pernah benar-benar ada.
Kejadian kecil itu ternyata berbuntut besar. Karena kesalahan ini Derek dihukum Tuhan untuk benar-benar menjadi peri gigi selama satu minggu penuh. Karena ia sekarang menjadi 'peri gigi' maka secara otomatis ia harus mengenakan baju balet dan membawa tongkat sihir sementara sayap pun mulai tumbuh di punggungnya.
Awalnya, hukuman ini sangatlah berat buat Derek yang kini menjadi 'peri gigi'. Tapi seiring waktu, Derek mulai terbiasa melakukan tugas ajaib ini. Dan seiring waktu pula Derek pun mulai menyadari bahwa dulu ia sempat punya harapan yang telah lama ia lupakan.
Dwayne Johnson dan Arnold Schwarzenegger bisa dibilang adalah dua aktor yang punya perjalanan karier nyaris sama. Bila Arnold mengawalinya sebagai atlet binaraga, Dwayne memulainya dari ring gulat bebas. Di awal kariernya pun kedua aktor ini sama-sama membintangi film laga. Jelas karena secara fisik keduanya memang lebih pantas bermain dalam genre ini. Kalaupun ada bedanya, Dwayne sepertinya lebih jeli dan cepat-cepat beralih ke genre komedi yang notabene lebih bisa diandalkan sampai tua.
Sampai saat ini tak kurang dari lima belas judul film layar lebar sudah dibintangi aktor kelahiran California ini. Sepanjang perjalanan karier di dunia film ini, kemampuan akting Dwayne mulai terasah meski untuk menyebutnya sebagai aktor andal sepertinya belum saatnya. Salah satu keunggulan Dwayne adalah 'kejujurannya' dalam berakting. Mungkin karena sudah terbiasa berakting saat menjadi pegulat, kamera sudah bukan barang menakutkan lagi buat Dwayne.
Dalam film ini, Dwayne harus beradu akting dengan Ashley Judd, Julie Andrews, dan Billy Crystal yang notabene lebih punya kemampuan akting dan sepertinya Dwayne masih cukup mampu mengejar ketinggalan. Sebenarnya bukan karena akting Dwayne yang bagus namun justru sebaliknya. Entah karena apa tapi Billy Crystal dan para pemain lain seolah tak bisa mengeluarkan kemampuan mereka sampai batas maksimal.
Ide cerita tak terlalu menonjol sementara chemistry antara Dwayne dan Ashley Judd sepertinya juga tidak terbangun. Akhirnya, film ini hanya jadi sekedar pengisi waktu bersama keluarga saja. Mungkin suatu saat nanti akting Dwayne akan bisa disejajarkan dengan para aktor lain. Itupun kalau ia tidak beralih karier ke dunia politik seperti Arnold Schwarzenegger.
09. LEGION
Menyia-nyiakan bakat akting! Paul Bettany bukanlah aktor yang tak bisa berakting dengan baik. Kalau Anda lihat beberapa film Paul sebelumnya, Anda akan tahu kalau aktor ini memang punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Sayang kalau ia harus bermain dalam film yang sama sekali tak memerlukan kemampuan berakting seperti yang satu ini. Bukan hanya itu, cerita yang ditawarkan juga memiliki banyak celah logika yang membuat penonton jadi merasa 'tak nyaman'.RESENSINYA :
Pemain: Paul Bettany, Dennis Quaid, Tyrese Gibson, Charles S. Dutton, Lucas Black
Semakin hari perkembangan peradaban di bumi makin mengenaskan. Teknologi berkembang pesat sementara nilai-nilai luhur agama mulai terlupakan. Orang tak lagi melihat nilai agama itu sebagai sebuah nilai yang relevan. Teknologi modern telah menggantikannya. Tuhan pun memutuskan sudah saatnya bumi dibersihkan seperti jaman Nabi Nuh.
Tuhan lantas memerintahkan para malaikatnya untuk turun ke bumi dan memusnahkan seluruh umat manusia agar bumi bisa diselamatkan. Kehidupan baru akan menggantikan kehidupan lama yang sudah mengalami dekadensi dan tak lagi bisa diselamatkan. Dipimpin Gabriel (Kevin Durand) para malaikat pun turun untuk melaksanakan tugasnya, kecuali satu malaikat yang tak sependapat dengan Tuhan. Michael (Paul Bettany) menganggap umat manusia masih punya harapan.
Michael pun turun ke bumi, bukan untuk mengemban tugas dari Tuhan namun untuk menyelamatkan umat manusia. Satu-satunya harapan Michael adalah jika ia bisa menyelamatkan Charlie (Adrianne Palicki). Konon, Charlie sedang mengandung seorang bayi yang nantinya akan menjadi juru selamat bagi seluruh umat manusia.
Sia-sia. Ada banyak nama besar yang dipasang sebagai pemeran dalam film ini dan semuanya jadi sia-sia. Paul Bettany, Tyrese Gibson, dan Dennis Quaid seolah tidak punya ruang untuk memamerkan kemampuan mereka dalam seni peran. Tidak bisa disalahkan memang karena proyek ini sendiri memang tak terlalu menjanjikan.
Sebenarnya ide dasarnya tak terlalu beda dengan TERMINATOR walaupun di sini yang dijadikan latar belakang bukanlah kemajuan teknologi namun lebih bersifat religi. Memang tidak ada yang salah dengan mendaur ulang ide yang sudah ada. Selama naskah dikerjakan dengan baik, sutradara mampu mengarahkan sekaligus memberi ruang cukup buat para aktor dan aktris untuk mengeksploitasi kemampuan mereka, ide yang sederhana pun bisa jadi film yang bagus.
Masalahnya di sini adalah naskah yang kurang tergarap. Banyak celah dalam naskah yang membuat orang bertanya-tanya soal logis tidaknya cerita ini. Tidak semua film berlandaskan pada logika namun bila sang penulis naskah bisa membangun 'logika kecil' di dalam cerita itu sendiri dan mempertahankan keutuhannya maka logika itupun bisa diterima penonton. Selain itu, dialog yang harus diucapkan para pemerannya pun terasa janggal dan aneh. Dan itu sama sekali tidak membantu naskah yang memang sudah lemah.
Sepertinya Scott Stewart yang menjabat sebagai sutradara juga tak bisa berbuat banyak. Selain ia sendiri belum punya banyak pengalaman sebagai sutradara, naskah yang harus ia wujudkan ke dalam bentuk visual memang sudah tidak mendukung. Kalau sudah begini, rasanya benar juga yang dikatakan Harrison Ford saat berkomentar bahwa film-film sekarang banyak yang lemah di sisi naskah.
10. CASE 39
Mencoba mengangkat pamor film horor dari status B Movie dengan memasang sederet nama besar sepertinya adalah ide awal Christian Alvart yang menjadi sutradara film ini. Mengejutkan memang saat melihat nama Renee Zellweger, Jodelle Ferland, Bradley Cooper, dan Ian McShane disebut sebagai pendukung film horor seperti ini. Sebenarnya cita-cita Alvart ini bisa saja tercapai kalau saja ia sedikit jeli dalam penulisan naskah.
RESENSINYA :
Pemain: Renee Zellweger, Jodelle Ferland, Bradley Cooper, Ian McShane
Sebagai petugas yang menangani masalah adopsi, Emily Jenkins (Renee Zellweger) memang sudah terbiasa menyaksikan hal-hal yang tak diketahui banyak orang. Kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa banyak anak yang akhirnya tinggal di panti asuhan sudah biasa ia hadapi. Tapi kasus nomor 39 ini adalah kasus yang spesial. Emily tak pernah tahu bagaimana akhir dari kasus ini.
Kasus nomor 39 ini menyangkut seorang gadis berusia 10 tahun bernama Lilith Sullivan (Jodelle Ferland). Keluarga Lilith memang sangat tertutup dan misterius tapi bukan itu yang jadi menghantui pikiran Emily. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada gadis kecil yang lugu ini. Dugaan Emily sepertinya terbukti ketika suatu malam Lilith hampir saja mati di tangan kedua orang tuanya. Emily mengira Lilith akan dikorbankan dalam sebuah ritual penyembah setan.
Tak tega, Emily akhirnya melanggar aturan main yang ia tetapkan sendiri, "Jangan pernah terlibat secara emosional." Emily lantas memilih merawat Lilith sendiri sampai ada orang tua angkat yang bersedia mengadopsi Lilith. Ternyata keputusan ini menjadi titik awal teror yang akan segera dihadapi Emily. Lilith tidaklah sepolos yang dikira Emily. Ada sesuatu yang jahat dalam diri Lilith dan sudah terlambat buat Emily untuk melepaskan diri dari Lilith.
Genre horor memang selalu identik dengan istilah B Movie alias film berbujet rendah. Tidak banyak film dari genre ini yang berhasil memikat hati kritikus film yang kadang memang kelewat cerewet. Jadi, melihat nama-nama besar seperti Renee Zellweger, Jodelle Ferland, Bradley Cooper, dan Ian McShane bermain dalam film horor seperti ini memang agak mengejutkan.
Renee memang sempat mengakrabi genre horor namun belakangan ia mulai masuk ke film-film drama yang memang lebih 'ramah' piala Oscar. Hasilnya, ia sempat menyabet gelar aktris pendukung terbaik lewat film COLD MOUNTAIN. Bradley Cooper pun bukan aktor yang buruk. Walaupun permainannya dalam THE HANGOVER tak sampai mendapatkan piala Oscar namun film ini bisa dibilang cukup bagus.
Kembali ke film CASE 39. Formula yang ditawarkan Christian Alvart sebagai sutradara sebenarnya masih 'mematuhi' formula pakem film horor. Ide dasarnya membuat tokoh gadis kecil yang seharusnya memiliki karakteristik 'tidak berbahaya' menjadi sosok monster yang sanggup merenggut nyawa orang lain. Sederhana. Pola yang sama juga ditawarkan banyak film termasuk ORPHAN dan berbagai film horor adaptasi Jepang.
Tidak salah memang selama ramuannya tepat. Celakanya, Christian Alvart sepertinya lebih memilih menggunakan trik 'kejutan-kejutan singkat' ketimbang membangun tensi perlahan-lahan hingga sampai pada puncaknya. Alhasil yang ada memang cuma kejutan-kejutan pendek yang segera hilang setelah adegan berakhir. Untungnya film ini masih terselamatkan oleh 'usaha' keempat pemain intinya. Renee cukup meyakinkan sebagai sosok yang sangat peduli pada nasib Lilith sementara Jodelle juga tak kalah bagusnya bermain sebagai seorang gadis kecil yang penuh misteri. Sumber: www.kapanlagi.com
Diposting oleh evanmarihot di Kamis, Desember 02, 2010 0 komentar
Label: Celoteh Informasi, Celoteh Movie