BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 02 Desember 2010

CELOTEH MOVIE : Sepuluh Film Terburuk Sepanjang Tahun 2010

Kalau ada yang terbaik, mau tak mau harus ada pula yang terburuk. Dari ratusan film yang diproduksi Hollywood sepanjang tahun 2010, sebagian memang tidak bisa dibilang sebagai film berkualitas. Beberapa dari film yang gagal meraih simpati kritikus ini memang benar-benar sebuah film gagal, artinya dari sisi penjualan pun mereka tak bisa dibilang menguntungkan. Sisi baiknya, beberapa dari film yang gagal ini ternyata masih mampu memancing minat penonton untuk berbondong-bondong datang ke gedung bioskop. Mau tau film-film yang masuk dalam kategori film terburuk sepanjang tahun 2010 ini? Simak daftar berikut ini.
01. TEKKEN
TEKKENSejarah memang sudah membuktikan kalau dari sekian banyak sumber materi, video game adalah sumber yang paling sulit divisualisasikan menjadi sebuah film layar lebar. Berbagai faktor termasuk hilangnya interaksi membuat film adaptasi game jadi proyek yang selalu gagal. Anehnya, fakta itu toh tak menghalangi studio untuk mengangkat game ke layar lebar termasuk proyek TEKKEN ini. Selain karena alur kisah yang datar dan sangat tipis, karakter yang diangkat pun tidak terasa benar-benar hidup.

RESENSINYA : 
Pemain: Jon Foo, Kelly Overton, Cary-Hiroyuki Tagawa, Ian Anthony Dale, Cung Le, Darrin Dewitt Henson, Luke Goss

Sejak kecil Jin Kazama (Jon Foo) memang sudah memiliki bakat bela diri yang kuat. Berbekal ilmu bela diri dari kakeknya, Jin berusaha masuk dalam kompetisi maut, Tekken. Meski kompetisi ini menjanjikan harta dan popularitas yang tak terbayangkan namun Jin tak tergoda oleh iming-iming itu. Hanya satu yang ada di benak Jin. Balas dendam.
Ibu Jin tewas di tangan Heihachi Mishima (Cary-Hiroyuki Tagawa) yang kini menjadi salah satu orang penting dalam Mishima Zaibatsu, perusahaan raksasa yang kini telah mengambil alih pemerintahan di dunia pasca pecahnya Perang Dunia. Perusahaan ini pula yang menjadi sponsor utama dari penyelenggaraan Tekken.
Jin tahu kalau untuk mencapai Heihachi, ia harus mengikuti turnamen maut ini dan untuk bisa lolos dari turnamen ini bukanlah sesuatu yang mudah. Para petarung andal dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk mengikuti Tekken dengan satu tujuan, menjadi yang terbaik karena selain yang terbaik semuanya akan mati.
Sejak era 1980-an, video game memang jadi salah satu favorit orang film saat mencari sumber cerita. Banyak sudah video game yang dibuatkan versi filmnya meski tidak semuanya bisa dibilang usaha yang sukses. Sedikit saja kesalahan dalam proses adaptasi maka film ini akan jadi bahan caci-maki para penonton, terutama penggemar versi game-nya.
Mengadaptasi game ke dalam film memang bukan urusan gampang. Game biasanya punya cerita yang sangat tipis karena cerita itu hanya ada untuk merangkai sekian level yang harus dilewati sang gamer. Pada saat ditransfer ke format film maka otomatis film akan jadi bertumpu sepenuhnya pada tiap-tiap adegan dan ini juga bukan urusan mudah karena game memberikan unsur 'keterlibatan' yang tak bisa diberikan oleh film.
TEKKEN yang juga diadaptasi dari video game buatan Namco ini juga mengalami nasib yang tak jauh beda dengan film adaptasi game yang lain. Cerita sangat-sangat sederhana dan nyaris tidak ada sementara para tokoh yang ada pun jadi terkesan dua dimensi karena tidak ada latar belakang yang cukup kuat untuk membuatnya jadi sosok yang benar-benar 'nyata'. Para fans game mungkin akan senang karena sebagian besar tokoh yang dimunculkan nyaris sama persis dengan versi game-nya meski di saat yang sama mereka bisa jadi juga sedikit kecewa karena alur kisah yang disuguhkan tak sepenuhnya sama dengan versi game-nya.

02. VAMPIRES SUCK
VAMPIRES SUCKKonon, menertawakan orang lain adalah obat mujarab menghilangkan stres. Mungkin dari dasar 'filosofi' itu pula banyak film parodi dibuat. Beberapa sukses, tapi tak jarang pula yang gagal. VAMPIRES SUCK ini termasuk film parodi yang gagal. Bermaksud menertawakan demam TWILIGHT yang sedang melanda dunia namun hasilnya malah menjadikan film ini jadi tontonan yang konyol. Humor yang disajikan sama sekali tidak cerdas sementara alur kisah pun hanya ada untuk merangkai setiap adegan yang sudah direncanakan terlebih dulu.

RESENSINYA :
Pemain: Matt Lanter, Chris Riggi, Jenn Proske, Anneliese van der Pol, Ken Jeong
Becca Crane (Jenn Proske) tak bisa membuat pilihan. Ia tak mungkin memilih Edward (Matt Lanter) karena itu artinya ia harus kehilangan Jacob Black (Chris Riggi), dan begitu juga sebaliknya. Masalahnya, tidak membuat pilihan pun bukanlah langkah yang bijak. Saat hari pesta dansa semakin dekat, Becca pun makin gelisah.VAMPIRES SUCK
Masalah jadi rumit karena Edward adalah vampir sementara Jacob adalah manusia serigala. Untungnya tidak ada yang tahu rahasia dua orang ini termasuk ayah Becca yang sangat protektif. Di saat yang sama, Buffy (Krystal Mayo), sang pemburu vampir juga sedang mengincar Edward dan keluarganya.
Resensi:
Kalau kisah singkat di atas mengingatkan Anda pada TWILIGHT SAGA, Anda tidak salah karena VAMPIRES SUCK ini memang spoof alias versi parodi dari serial yang diadaptasi dari buku karya Stephenie Meyer itu. Walaupun kadang terasa sinis, namun yang pasti film ini berusaha memancing tawa dari kekonyolan seputar kisah vampir.
VAMPIRES SUCK
Ada formula pasti untuk sebuah film parodi seperti ini. Film seperti ini harus dibuat berdasarkan adegan-adegan dalam film yang mereka buat lelucon dan sepertinya justru inilah yang kadang membuat film parodi jadi tak berumur lama. Segera setelah film usai maka kenangan atas film ini sendiri bakal menguap habis. Jarang ada penulis naskah yang bisa membuat naskah parodi yang mampu berdiri sendiri sebagai sebuah film utuh.
Kali ini, spesialis parodi Jason Friedberg dan Aaron Seltzer yang juga bertanggung jawab atas pembuatan film DATE MOVIE, EPIC MOVIE, atau DISASTER MOVIE mencoba mengolok-olok serial TWILIGHT yang selalu jadi bahan pembicaraan di mana-mana. Buat yang sudah bosan dengan TWILIGHT, VAMPIRES SUCK ini memang seolah jadi angin segar yang bakal menghapus rasa muak mereka pada serial yang satu ini.
VAMPIRES SUCK
Seperti bisa diduga, VAMPIRES SUCK ini juga tak lepas dari pakem film parodi. Jason Friedberg dan Aaron Seltzer mengambil beberapa adegan dari TWILIGHT dan membuatnya jadi sebuah lelucon. Sayangnya, usaha itu berhenti sampai di sana. Naskah film ini terasa hanya ada untuk merangkai adegan-adegan lucu (atau yang mereka anggap lucu) agar tak terlihat seperti potongan klip yang disatukan begitu saja.
Karena terjebak formula ini juga bakat akting Matt Lanter, Jenn Proske, dan Chris Riggi jadi tak tergali. Kalau pun ada yang terlihat menonjol barangkali adalah Ken Jeong meski penampilan Ken kali ini tak sebagus saat di THE HANGOVER. Kesimpulannya, film ini pas ditonton saat Anda memang ingin melepas penat dari aktivitas sehari-hari dan jangan berharap lebih dari itu.

03. THE SPY NEXT DOOR
THE SPY NEXT DOORDulu, di tahun 1980-an, film-film Jackie Chan adalah jaminan hiburan segar. Karena itu banyak orang yang mengira THE SPY NEXT DOOR ini bakal setara dengan film-film Jackie Chan yang dulu. Sayangnya, harapan itu tak terpenuhi karena film yang satu ini sama-sekali tak menghibur. Sepertinya kendala bahasa dan penyutradaraan membuat film ini jadi terasa 'garing'. Tak ada chemistry di antara pemainnya sementara kisah yang ditawarkan juga bukan sesuatu yang baru.
 RESENSINYA :
Pemain: Jackie Chan, Magnus Scheving, Billy Ray Cyrus, George Lopez, Amber Valletta, Madeline Carroll, Will Shadley

Selama bertugas sebagai mata-mata CIA, Bob Ho (Jackie Chan) sering harus menghadapi tugas yang bisa dibilang mustahil diselesaikan. Berbekal semua pelajaran yang ia dapat selama pendidikan dan kecerdikannya, Bob selalu bisa menuntaskan misinya dengan baik. Namun Bob tak tahu kalau sebenarnya misi yang paling sulit justru akan ia hadapi setelah ia mundur dari CIA.
Karena sudah jenuh dengan tugasnya, Bob pun memutuskan untuk mengundurkan diri dan memulai hidup yang tenang. Bob ingin membina rumah tangga dengan Gillian (Amber Valletta), kekasihnya yang sangat ia cintai. Gillian pun sebenarnya sangat mencintai Bob tapi karena ia sudah memiliki tiga orang anak maka hal pertama yang harus dilakukan Bob adalah membuktikan kalau ia layak menjadi ayah tiri dari ketiga anak Gillian ini.
Suatu ketika Gillian harus pergi ke luar kota dan kesempatan ini dimanfaatkan Bob untuk mengambil hati ketiga anak Gillian. Bob menawarkan diri untuk menjaga ketiga anak Gillian selama Gillian pergi. Awalnya tugas ini saja sudah cukup berat apalagi ketika salah satu dari anak Gillian secara tidak sengaja men-download file rahasia mata-mata Rusia. Dalam waktu singkat para mata-mata Rusia pun berdatangan untuk mengambil file milik mereka.
Kini tugas Bob tidak hanya mengawasi ketiga anak Gillian namun juga harus melindungi ketiga anak ini dari ancaman para mata-mata Rusia yang tak kenal ampun. Tak ada pilihan. Bob hanya bisa melewati semua itu dengan selamat bila ia melibatkan anak-anak Gillian yang artinya ia harus membongkar identitas rahasianya sebagai mata-mata CIA.
Dari sisi tema, THE SPY NEXT DOOR punya kemiripan dengan film Vin Diesel yang berjudul THE PACIFIER. Kesamaan tema memang bukan sesuatu yang layak dipermasalahkan selama dalam penuangannya tak jadi terjebak pada alur kisah film yang lebih dulu muncul. Dalam kasus ini THE SPY NEXT DOOR masih bisa lolos karena tema itu dituangkan dengan cara lain.
Yang jadi masalah di sini sebenarnya adalah soal penyutradaraan. Sepertinya Brian Levant tak mampu mengarahkan para aktor dan aktris sehingga yang terjadi adalah akting yang tak memenuhi standar. Dalam kasus Jackie Chan dan Amber Valleta, chemistry di antara dua orang ini tak bisa muncul. Sepanjang kariernya, Jackie memang tak pernah tampil romantis dan sang sutradara sepertinya juga tak bisa mengarahkan aktor gaek ini untuk bisa romantis.
Dari sisi laga, tak ada yang baru di sini. Film-film Jackie Chan sebelumnya sudah bisa mewakili adegan laga dalam film ini walaupun di titik tertentu sepertinya Jackie sudah mulai terlalu tua untuk beraksi seperti dulu lagi. Untungnya masih ada beberapa momen yang cukup mampu memancing tawa meski di akhir kisah tak terbersit keinginan untuk menonton film ini lagi.

04. FURRY VENGEANCE
FURRY VENGEANCESatu lagi film yang mencoba memancing tawa dari kesialan orang lain namun gagal menjadikannya sebuah lelucon yang segar dan tak terlihat bodoh. Brendan Fraser berhasil melakukannya dengan baik di film GEORGE OF THE JUNGLE tapi sepertinya kali ini formula yang sama tak terlalu berhasil untuk mengangkat pamor film yang mencoba mengusung isu kelestarian alam ini.
RESENSINYA : 
Pemain: Ken Jeong, Brendan Fraser, Dick Van Dyke, Brooke Shields, Angela Kinsey, Rob Riggle, Matt Prokop, Skyler Samuels, Jim Norton, Sam
Jangan pernah meremehkan kekuatan alam. Bila alam sudah murka, tak ada manusia yang bisa selamat dari amukan alam ini. Sayangnya Dan Sanders (Brendan Fraser) lupa pada petuah bijak ini. Tanpa pikir panjang lagi Dan memulai pembangunan perumahan walaupun itu artinya harus membuka lahan baru yang semula adalah hutan.
Buat Dan yang bekerja sebagai pengembang, peluang proyek baru ini akan mendatangkan keuntungan besar. Selama izin sudah dikantongi, tak ada yang perlu ditakutkan oleh Dan Sanders. Kalaupun ada pihak yang berusaha menggagalkan proyek ini, Dan siap menempuh jalur hukum. Sayangnya ada satu kemungkinan yang tak terpikirkan oleh Dan sebelumnya. Ada yang tak mungkin diselesaikan di meja hijau.
Saat menyadari kalau hutan tempat tinggal mereka akan segera diratakan dan dijadikan perumahan para binatang mulai merasa resah. Karena tak punya pilihan lain, para binatang ini memutuskan untuk melawan. Dalam waktu singkat, hutan yang semula tenang dan damai itu jadi medan perang antara binatang dan manusia. Kali ini Dan tak mungkin membawa para binatang ini ke meja hijau dan harus ada solusi damai di antara kedua pihak yang bertikai ini.
Orang bilang, sumber lelucon yang tak akan pernah basi adalah kemalangan orang lain. Meski terdengar sedikit tragis namun nyatanya sejak kecil kita sudah dibiasakan untuk menertawakan kemalangan orang lain. Kalau tidak percaya, coba saja tonton film-film kartun klasik seperti Micky Mouse, Donald Duck, Looney Tune dan lain sebagainya. Kalau Anda perhatikan, semuanya berisi kesialan orang lain dan bukannya merasa prihatin, kita malah menertawakan kesialan itu.
Terlepas dari tragis atau tidak, nyatanya Hollywood juga tak pernah berhenti menggali lelucon dari kesialan orang lain ini. Salah satu yang masuk kategori ini adalah film berjudul FURRY VENGEANCE ini. Sepanjang film berdurasi kurang lebih 90 menit ini kita disuguhi beraneka macam adegan kesialan yang menimpa karakter utama yang diperankan oleh Brendan Fraser.
Kalau melihat data di atas kertas, sepertinya film ini cukup menjanjikan. Pertama, ide menertawakan kesialan orang lain sudah jadi jaminan pasti. Kedua, Brendan Fraser juga berhasil memerankan tokoh yang selalu sial seperti ini dalam filmnya yang berjudul GEORGE OF THE JUNGLE. Sayangnya, formula ini tak berhasil kali ini. Nyatanya sampai saat ini film yang mulai diedarkan bulan April lalu ini masih belum berhasil mengembalikan modal awal selama produksi.
Masalahnya memang ada pada eksekusi dari ide menertawakan kesialan orang lain tadi. Mungkin ide ini akan berhasil saat diterapkan pada anak-anak namun akan jadi masalah saat ide yang sama ditawarkan pada orang dewasa. Seberapa banyak dari orang dewasa yang masih merasa 'nyaman' melihat kesengsaraan orang lain. Akhirnya, segala daya dan upaya Brendan Fraser untuk mengangkat pamor film ini pun sepertinya sia-sia belaka. 

05. THE BOUNTY HUNTER
THE BOUNTY HUNTERMudah ditebak! Itu kesan yang tertangkap. Dari judul dan poster yang beredar saja sudah bisa diduga di mana titik kekuatan film ini. Celakanya lagi, sang sutradara ternyata juga tak terlalu piawai meracik bumbu untuk menjadikan film yang sudah gampang ditebak tadi jadi sesuatu yang layak ditonton. Pengembangan karakter tak berjalan sempurna sementara chemistry pun sepertinya tak terbentuk dengan baik. Akhirnya bakat akting para pemainnya pun terasa sia-sia belaka. RESENSINYA : 
Pemain: Jennifer Aniston, Gerard Butler

Pekerjaan Milo Boyd (Gerard Butler) memang pekerjaan yang punya tantangan besar. Milo harus melacak orang, memburunya, menangkapnya dan membawanya pulang dalam keadaan hidup. Ya, Milo adalah seorang bounty hunter atau orang yang dibayar untuk membawa pulang para buronan.
Sebagai seorang pemburu bayaran, Milo bukan termasuk yang terbaik. Keberuntungan hampir tak pernah berpihak pada Milo. Namun saat ia mendapat tugas untuk memburu dan membawa pulang Nicole Hurly (Jennifer Aniston), Milo yakin kalau keberuntungannya akan berubah. Milo yakin tugas ini tak akan terlalu menyulitkannya. Bagaimana tidak, Nicole adalah mantan istri Milo.
Tapi memang tak ada yang bisa dinilai dari tampilan luarnya. Saat tugas mulai dijalankan, Milo baru sadar kalau dari awal memang tidak ada yang sederhana kalau sudah menyangkut hubungannya dengan Nicole. Bukannya bisa membawa Nicole pulang dengan mudah, Milo malah terjebak keruwetan gara-gara Nicole sebenarnya sedang mencari orang yang punya petunjuk untuk mengungkap sebuah kasus pembunuhan.
Film yang laku dijual memang bukan jaminan kalau film tersebut berkualitas. Meski dicaci-maki para kritikus film, bisa saja film tersebut laku keras seperti dalam kasus THE BOUNTY HUNTER ini. Konon, dari modal sekitar US$40 juta, film ini sudah bisa menghasilkan sekitar US$120 juta lebih. Bahkan di akhir pekan pertamanya, film ini berhasil masuk peringkat ketiga box office di bawah ALICE IN WONDERLAND dan DIARY OF A WIMPY KID.
Sebenarnya kalau mau jujur, film ini tak menawarkan apa-apa. Melihat poster dan judulnya saja orang sudah bisa memperkirakan alur cerita film ini dan bisa dipastikan hampir semua perkiraan itu benar. Ide menggali kelucuan dari pertengkaran di antara dua orang yang saling tidak cocok memang bukan formula baru. Formula ini sudah dipakai berkali-kali dalam bentuk yang berbeda-beda. Beberapa sukses memancing tawa sementara yang lain jadi tidak efektif lagi.
Untuk menimpakan kesalahan pada Jennifer Aniston dan Gerard Butler rasanya kurang tepat karena biasanya dua orang ini bisa berakting cukup bagus, terutama Jennifer. Bisa jadi kesalahan berada pada naskah yang memang tak memberi banyak kemungkinan buat dua orang ini. Buktinya, banyak karakter yang seolah tak terlalu penting dalam jalinan kisah dan seolah muncul untuk mengalihkan penonton dari dua karakter sentral ini.
Hampir semua adegan berlalu tanpa meninggalkan bekas. Penonton pun seolah tak dilibatkan dalam masalah yang terjadi antara dua karakter utama dalam film ini. Alhasil, film ini jadi terasa hambar dengan lelucon-lelucon yang tak lagi lucu.

06. KILLERS
KILLERSYang satu ini gagal karena dua tokoh utamanya. Pertama Ashton Kutcher dan Katherine Heigl tak terlalu meyakinkan dalam membawakan peran mereka masing-masing. Kedua, chemistry di antara mereka pun tak terbentuk. Dari sini saja sudah tak mungkin bisa menggali kelucuan yang terjadi di antara sepasang suami istri yang jadi ide utama film ini. Hasilnya, rencana yang sudah matang itu pun gagal dalam eksekusi. 
RESENSINYA :
Pemain: Katherine Heigl, Ashton Kutcher
Buat orang awam, kehidupan Spencer Aimes (Ashton Kutcher) adalah kehidupan impian. Bisa menikmati kehidupan eksotik di berbagai kota di Eropa, punya mobil mewah, dan dikelilingi banyak wanita cantik memang adalah impian semua pria dan itu semua sudah dimiliki Spencer yang sebenarnya adalah seorang agen CIA.
KILLERS
Spencer memang menikmati hidupnya dan tak ada alasan untuk meninggalkan semua itu, setidaknya sampai Spencer bertemu Jennifer Kornfeldt (Katherine Heigl). Jennifer adalah seorang teknisi komputer yang baru saja putus dari kekasihnya dan sedang berlibur di Perancis. Sejak bertemu Jennifer, Spencer yakin kalau wanita ini adalah cinta sejatinya dan karena wanita ini pula Spencer rela meninggalkan kehidupan mewahnya untuk menikahi Jennifer.
Tiga tahun kemudian, kehidupan sepasang manusia yang sedang kasmaran ini tiba-tiba saja diguncang prahara. Spencer tiba-tiba dihubungi mantan atasannya dan tak berapa lama kemudian Spencer seolah jadi magnet buat para pembunuh yang berusaha menghabisi Spencer. Mau tak mau Spencer harus mencari tahu siapa dalang di balik usaha pembunuhan ini. Untuk melakukan itu, tak ada pilihan buat Spencer selain membuka rahasianya yang selama ini tak pernah diketahui Jennifer.
KILLERS
Menggali kelucuan dari hubungan suami istri sepertinya adalah tujuan utama dari film arahan sutradara Robert Luketic ini. Namun untuk bisa menggali sisi lucu dari hubungan ini, pertama sang sutradara harus mampu meyakinkan penonton bahwa dua orang ini memang sepasang suami istri. Ini bukan urusan gampang karena selain tergantung pada naskah, hasil yang memuaskan juga akan bertumpu pada chemistry antara dua orang ini.
Nyatanya, tak satu pun dari usaha untuk meyakinkan penonton bahwa Spencer dan Jennifer adalah sepasang suami istri yang bisa dibilang berhasil. Jangankan untuk membuat kondisi ini terlihat nyata, untuk membuat Ashton Kutcher terlihat seperti agen CIA saja sudah gagal. Katherine Heigl juga tak terlalu meyakinkan sebagai seorang istri yang sering histeris dan selalu berada di bawah pengawasan kedua orang tuanya.
KILLERS
Hasilnya, lelucon yang digali dari hubungan ini juga tak terlihat alami. Yang ada hanyalah serangkaian adegan baku tembak yang malah tak jelas bisa dikategorikan dalam genre action atau comedy. Di tengah kekacauan ini justru Tom Selleck dan Catherine O'Hara yang menjadi orang tua Jennifer yang tampil lebih menonjol meski, lagi-lagi, tidak muncul chemistry di antara dua orang ini.


07. THE LAST AIRBENDER
THE LAST AIRBENDERMungkin kesalahan pertama studio adalah membiarkan M. Night Shyamalan menyutradarai film ini. Saat pertama muncul ide mengangkat serial AVATAR ke layar lebar, sambutan publik film sudah sangat positif namun sayangnya, sang sutradara membuat proyek ini gagal. Bukan hanya karena perubahan karakter Aang saja yang membuat banyak penonton jengkel tapi berbagai adegan yang muncul pun terasa tak logis. Untungnya dari sisi CGI, film ini tidak terlalu buruk.
RESENSINYA :
Pemain: Noah Ringer, Nicola Peltz, Jackson Rathbone, Dev Patel 
Keserakahan membuat Bangsa Api tak ingin hidup berdampingan dalam damai bersama bangsa-bangsa lain. Satu-satunya cara untuk memastikan Bangsa Api bisa berkuasa adalah dengan membunuh Avatar yang menjadi penyeimbang dari semua kekuatan yang ada di bumi. Karena itu pula Bangsa Api lantas berusaha mencari reinkarnasi Avatar yang konon akan terlahir dari Bangsa Udara.
Aang (Noah Ringer) adalah seorang bocah kecil yang terlahir dari bangsa Udara. Tanpa disadari Aang adalah reinkarnasi Avatar dan karena itu ia bakal memikul tanggung jawab menjadi penyeimbang alam semesta. Untuk itu, Aang tak boleh hidup seperti layaknya manusia lain. Aang tak boleh memiliki ikatan duniawi seperti orang-orang lain dan karena itu pula Aang melarikan diri dari kuil.
Karena kecelakaan Aang terjebak dalam es dan tak sadar kalau waktu telah bergulir sementara ia membeku. Seratus tahun kemudian seorang Waterbender bernama Katara (Nicola Peltz) secara tak sengaja membangkitkan Aang dari tidur panjangnya. Di saat yang sama, kebangkitan Aang ternyata diketahui Prince Zuko (Dev Patel) yang diusir dari kerajaan sampai ia berhasil pulang membawa sang Avatar untuk Bangsa Api.
Sadar bahwa dirinya adalah Avatar, Aang tak punya pilihan lain selain memerangi Bangsa Api yang telah menindas bangsa-bangsa lain. Sayangnya, Aang hanyalah seorang Airbender. Ia tak mampu memanipulasi unsur alam yang lain seperti Api, Tanah, dan Air, padahal itulah yang dibutuhkan seorang Avatar untuk menjalankan tugas sucinya.
Agaknya, THE LAST AIRBENDER ini dimaksudkan sebagai langkah yang bakal menyelamatkan reputasi M Night Shyamalan yang belakangan makin merosot saja. Di atas kertas, THE LAST AIRBENDER ini memang menjanjikan. Bagaimana tidak, film ini diangkat dari film animasi Nickelodeon yang sudah sangat populer. Selain itu, sang sutradara juga memasang nama-nama besar seperti Jackson Rathbone dan Dev Patel dalam daftar pemerannya. Sayangnya itu semua sepertinya masih belum cukup untuk mengembalikan pamor M Night Shyamalan.
Kesalahan pertama barangkali adalah soal casting. Semua karakter utama dalam film ini diperankan oleh aktor dan aktris kulit putih padahal dalam versi animasinya, karakter ini jelas-jelas orang Asia. Kedua, naskah yang dibuat oleh M Night Shyamalan sepertinya tidak memberi cukup ruang untuk para aktor/ aktris ini untuk mengembangkan karakter mereka, atau bisa jadi malah sang sutradara yang gagal mengarahkan mereka untuk mencapai standar tertentu.
Dialog antar karakter terasa kaku dan dibuat-buat sementara proses pembentukan karakter juga seolah dipaksakan dan tak berjalan mulus seperti pada kasus INCEPTION misalnya. Selain itu, CGI yang digunakan juga terasa kurang menggigit. Tak heran jika sampai saat ini film ini baru menghasilkan sekitar US$167 juta saja padahal modal yang sudah dikucurkan tak kurang dari US$150 juta. Seandainya film ini tidak dibuat dalam versi live-action dan tetap dipertahankan dalam format animasi, mungkin film ini lebih punya peluang.

08. TOOTH FAIRY
TOOTH FAIRYMencoba peruntungan di ladang lain memang tak ada salahnya. Buktinya Dwayne Johnson bisa dibilang cukup sukses saat membintangi film RACE TO WITCH MOUNTAIN. Barangkali yang jadi masalah di sini adalah keterbatasan kemampuan akting Dwayne sendiri. Dwayne sepertinya belum mampu memerankan karakter yang lebih kompleks seperti dalam film TOOTH FAIRY ini sementara chemistry antara Dwayne dan Ashley Judd pun nyaris tak ada.
RESENSINYA :
Pemain: Dwayne Johnson, Ashley Judd, Julie Andrews, Billy Crystal, Brandon T. Jackson, Ryan Sheckler, Stephen Merchant.

Peri gigi adalah peri yang datang mengunjungi anak-anak dan memberikan hadiah sebagai ganti dari gigi mereka yang tanggal. Setidaknya itulah yang dikatakan mitos di Barat sana. Tapi dalam kasus Derek Thompson (Dwayne Johnson) justru berbeda. Ia adalah 'peri gigi' yang sangat kejam dan ganas.
Derek adalah seorang pemain hoki es yang 'sadis' saat berada di arena. Beberapa kali ia membuat gigi lawannya rontok dan dari sanalah ia mendapat julukan tooth fairy atau peri gigi. Hidup Derek semula lancar-lancar saja sampai suatu saat ia membuat hati seorang anak kecil sedih karena ia dengan tanpa basa-basi mengatakan bahwa 'peri gigi' itu hanyalah dongeng dan tak pernah benar-benar ada.
Kejadian kecil itu ternyata berbuntut besar. Karena kesalahan ini Derek dihukum Tuhan untuk benar-benar menjadi peri gigi selama satu minggu penuh. Karena ia sekarang menjadi 'peri gigi' maka secara otomatis ia harus mengenakan baju balet dan membawa tongkat sihir sementara sayap pun mulai tumbuh di punggungnya.
Awalnya, hukuman ini sangatlah berat buat Derek yang kini menjadi 'peri gigi'. Tapi seiring waktu, Derek mulai terbiasa melakukan tugas ajaib ini. Dan seiring waktu pula Derek pun mulai menyadari bahwa dulu ia sempat punya harapan yang telah lama ia lupakan.
Dwayne Johnson dan Arnold Schwarzenegger bisa dibilang adalah dua aktor yang punya perjalanan karier nyaris sama. Bila Arnold mengawalinya sebagai atlet binaraga, Dwayne memulainya dari ring gulat bebas. Di awal kariernya pun kedua aktor ini sama-sama membintangi film laga. Jelas karena secara fisik keduanya memang lebih pantas bermain dalam genre ini. Kalaupun ada bedanya, Dwayne sepertinya lebih jeli dan cepat-cepat beralih ke genre komedi yang notabene lebih bisa diandalkan sampai tua.
Sampai saat ini tak kurang dari lima belas judul film layar lebar sudah dibintangi aktor kelahiran California ini. Sepanjang perjalanan karier di dunia film ini, kemampuan akting Dwayne mulai terasah meski untuk menyebutnya sebagai aktor andal sepertinya belum saatnya. Salah satu keunggulan Dwayne adalah 'kejujurannya' dalam berakting. Mungkin karena sudah terbiasa berakting saat menjadi pegulat, kamera sudah bukan barang menakutkan lagi buat Dwayne.
Dalam film ini, Dwayne harus beradu akting dengan Ashley Judd, Julie Andrews, dan Billy Crystal yang notabene lebih punya kemampuan akting dan sepertinya Dwayne masih cukup mampu mengejar ketinggalan. Sebenarnya bukan karena akting Dwayne yang bagus namun justru sebaliknya. Entah karena apa tapi Billy Crystal dan para pemain lain seolah tak bisa mengeluarkan kemampuan mereka sampai batas maksimal.
Ide cerita tak terlalu menonjol sementara chemistry antara Dwayne dan Ashley Judd sepertinya juga tidak terbangun. Akhirnya, film ini hanya jadi sekedar pengisi waktu bersama keluarga saja. Mungkin suatu saat nanti akting Dwayne akan bisa disejajarkan dengan para aktor lain. Itupun kalau ia tidak beralih karier ke dunia politik seperti Arnold Schwarzenegger.

09. LEGION
LEGIONMenyia-nyiakan bakat akting! Paul Bettany bukanlah aktor yang tak bisa berakting dengan baik. Kalau Anda lihat beberapa film Paul sebelumnya, Anda akan tahu kalau aktor ini memang punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Sayang kalau ia harus bermain dalam film yang sama sekali tak memerlukan kemampuan berakting seperti yang satu ini. Bukan hanya itu, cerita yang ditawarkan juga memiliki banyak celah logika yang membuat penonton jadi merasa 'tak nyaman'.RESENSINYA :
Pemain: Paul Bettany, Dennis Quaid, Tyrese Gibson, Charles S. Dutton, Lucas Black

Semakin hari perkembangan peradaban di bumi makin mengenaskan. Teknologi berkembang pesat sementara nilai-nilai luhur agama mulai terlupakan. Orang tak lagi melihat nilai agama itu sebagai sebuah nilai yang relevan. Teknologi modern telah menggantikannya. Tuhan pun memutuskan sudah saatnya bumi dibersihkan seperti jaman Nabi Nuh.
Tuhan lantas memerintahkan para malaikatnya untuk turun ke bumi dan memusnahkan seluruh umat manusia agar bumi bisa diselamatkan. Kehidupan baru akan menggantikan kehidupan lama yang sudah mengalami dekadensi dan tak lagi bisa diselamatkan. Dipimpin Gabriel (Kevin Durand) para malaikat pun turun untuk melaksanakan tugasnya, kecuali satu malaikat yang tak sependapat dengan Tuhan. Michael (Paul Bettany) menganggap umat manusia masih punya harapan.
Michael pun turun ke bumi, bukan untuk mengemban tugas dari Tuhan namun untuk menyelamatkan umat manusia. Satu-satunya harapan Michael adalah jika ia bisa menyelamatkan Charlie (Adrianne Palicki). Konon, Charlie sedang mengandung seorang bayi yang nantinya akan menjadi juru selamat bagi seluruh umat manusia.
Sia-sia. Ada banyak nama besar yang dipasang sebagai pemeran dalam film ini dan semuanya jadi sia-sia. Paul Bettany, Tyrese Gibson, dan Dennis Quaid seolah tidak punya ruang untuk memamerkan kemampuan mereka dalam seni peran. Tidak bisa disalahkan memang karena proyek ini sendiri memang tak terlalu menjanjikan.
Sebenarnya ide dasarnya tak terlalu beda dengan TERMINATOR walaupun di sini yang dijadikan latar belakang bukanlah kemajuan teknologi namun lebih bersifat religi. Memang tidak ada yang salah dengan mendaur ulang ide yang sudah ada. Selama naskah dikerjakan dengan baik, sutradara mampu mengarahkan sekaligus memberi ruang cukup buat para aktor dan aktris untuk mengeksploitasi kemampuan mereka, ide yang sederhana pun bisa jadi film yang bagus.
Masalahnya di sini adalah naskah yang kurang tergarap. Banyak celah dalam naskah yang membuat orang bertanya-tanya soal logis tidaknya cerita ini. Tidak semua film berlandaskan pada logika namun bila sang penulis naskah bisa membangun 'logika kecil' di dalam cerita itu sendiri dan mempertahankan keutuhannya maka logika itupun bisa diterima penonton. Selain itu, dialog yang harus diucapkan para pemerannya pun terasa janggal dan aneh. Dan itu sama sekali tidak membantu naskah yang memang sudah lemah.
Sepertinya Scott Stewart yang menjabat sebagai sutradara juga tak bisa berbuat banyak. Selain ia sendiri belum punya banyak pengalaman sebagai sutradara, naskah yang harus ia wujudkan ke dalam bentuk visual memang sudah tidak mendukung. Kalau sudah begini, rasanya benar juga yang dikatakan Harrison Ford saat berkomentar bahwa film-film sekarang banyak yang lemah di sisi naskah.

10. CASE 39
CASE 39Mencoba mengangkat pamor film horor dari status B Movie dengan memasang sederet nama besar sepertinya adalah ide awal Christian Alvart yang menjadi sutradara film ini. Mengejutkan memang saat melihat nama Renee Zellweger, Jodelle Ferland, Bradley Cooper, dan Ian McShane disebut sebagai pendukung film horor seperti ini. Sebenarnya cita-cita Alvart ini bisa saja tercapai kalau saja ia sedikit jeli dalam penulisan naskah.
RESENSINYA :
Pemain: Renee Zellweger, Jodelle Ferland, Bradley Cooper, Ian McShane

Sebagai petugas yang menangani masalah adopsi, Emily Jenkins (Renee Zellweger) memang sudah terbiasa menyaksikan hal-hal yang tak diketahui banyak orang. Kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa banyak anak yang akhirnya tinggal di panti asuhan sudah biasa ia hadapi. Tapi kasus nomor 39 ini adalah kasus yang spesial. Emily tak pernah tahu bagaimana akhir dari kasus ini.
CASE 39
Kasus nomor 39 ini menyangkut seorang gadis berusia 10 tahun bernama Lilith Sullivan (Jodelle Ferland). Keluarga Lilith memang sangat tertutup dan misterius tapi bukan itu yang jadi menghantui pikiran Emily. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada gadis kecil yang lugu ini. Dugaan Emily sepertinya terbukti ketika suatu malam Lilith hampir saja mati di tangan kedua orang tuanya. Emily mengira Lilith akan dikorbankan dalam sebuah ritual penyembah setan.
Tak tega, Emily akhirnya melanggar aturan main yang ia tetapkan sendiri, "Jangan pernah terlibat secara emosional." Emily lantas memilih merawat Lilith sendiri sampai ada orang tua angkat yang bersedia mengadopsi Lilith. Ternyata keputusan ini menjadi titik awal teror yang akan segera dihadapi Emily. Lilith tidaklah sepolos yang dikira Emily. Ada sesuatu yang jahat dalam diri Lilith dan sudah terlambat buat Emily untuk melepaskan diri dari Lilith.
CASE 39
Genre horor memang selalu identik dengan istilah B Movie alias film berbujet rendah. Tidak banyak film dari genre ini yang berhasil memikat hati kritikus film yang kadang memang kelewat cerewet. Jadi, melihat nama-nama besar seperti Renee Zellweger, Jodelle Ferland, Bradley Cooper, dan Ian McShane bermain dalam film horor seperti ini memang agak mengejutkan.
Renee memang sempat mengakrabi genre horor namun belakangan ia mulai masuk ke film-film drama yang memang lebih 'ramah' piala Oscar. Hasilnya, ia sempat menyabet gelar aktris pendukung terbaik lewat film COLD MOUNTAIN. Bradley Cooper pun bukan aktor yang buruk. Walaupun permainannya dalam THE HANGOVER tak sampai mendapatkan piala Oscar namun film ini bisa dibilang cukup bagus.
CASE 39
Kembali ke film CASE 39. Formula yang ditawarkan Christian Alvart sebagai sutradara sebenarnya masih 'mematuhi' formula pakem film horor. Ide dasarnya membuat tokoh gadis kecil yang seharusnya memiliki karakteristik 'tidak berbahaya' menjadi sosok monster yang sanggup merenggut nyawa orang lain. Sederhana. Pola yang sama juga ditawarkan banyak film termasuk ORPHAN dan berbagai film horor adaptasi Jepang.
Tidak salah memang selama ramuannya tepat. Celakanya, Christian Alvart sepertinya lebih memilih menggunakan trik 'kejutan-kejutan singkat' ketimbang membangun tensi perlahan-lahan hingga sampai pada puncaknya. Alhasil yang ada memang cuma kejutan-kejutan pendek yang segera hilang setelah adegan berakhir. Untungnya film ini masih terselamatkan oleh 'usaha' keempat pemain intinya. Renee cukup meyakinkan sebagai sosok yang sangat peduli pada nasib Lilith sementara Jodelle juga tak kalah bagusnya bermain sebagai seorang gadis kecil yang penuh misteri. Sumber: www.kapanlagi.com

0 komentar: